KONFRONTASI- Kepemimpinan
elite yang punya kompetensi, integritas dan akuntabilitas diharapkan terwujud di era
Presiden Prabowo Subianto agar membersitkan harapan dan kepercayaan kuat di kalangan rakyat, dan mampu mengimplementasikan kebijakan yang berbasis Konstitusi 1945/kepentingan rakyat banyak, yang harus
dilaksanakan secara nyata di tengah globalisasi kapitalisme yang membuat bangsa Indonesia kian susah dan sungsang. Dalam hal ini,di tengah sulitnya ekonomi dan beban
utang negara era Jokowi yang amat besar maka Pemerintah Prabowo Subianto seyogianya mencabut Permendag yang mengizinkan masuknya
barang luar yang sejenis dengan produk hasil industri padat karya milik lokal. Selain
itu, aturan profit sharing negara dengan swasta (privat) dimana perbandingannya
adalah 3 berbanding 7 harus diubah menjadi 50:50 atau 60:40 untuk kepentingan
rakyat. Dengan perbandingan 7:3 itu terlalu besar menguntungkan sektor swasta
(privat), seperti sektor tambang/mineral, perkebunan, dan lainnya, jatuhnya malah
ke pihak asing. Ini harus direvisi
secepatnya.
Demikian pandangan Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Pribumi Nusantara Indonesia (ASPRINDO) Prof Didin S Damanhuri dari IPB dan Herdi Sahrasad, akademisi/peneliti ekonomi-politik dari Universitas Paramadina
Didin S Damanhuri
Kedua analis senior itu menilai, semua aturan yang tidak affordable bagi kebangkitan ekonomi nasional, harus direvisi, diubah untuk kepentingan nasional.
''Keberpihakan Prabowo pada kepentingan rakyat banyak akan membuat dukungan dan partisipasi rakyat menggumpal/mengerucut pada kubunya sehingga pemerintah bisa melangkah lebih leluasa dalam meng-eksekusi kebijakannya di tengah kesulitan ekonomi dewasa ini, negara harus berpihak pada rakyat, itu yang utama, bukan negara untuk oligarki,''kata Herdi, aktivis Indonesian Democracy Monitor (INDEMO)
‘’Jangan sampai aturan
ini menghambat orientasi ekonomi kerakyatan,” ucap Didin. Ia pun menyoroti suku bunga Indonesia yang lebih tingggi dibandingkan negara tetangga di ASEAN. Seperti Thailand 2.25, Singapura 2.98, Malaysia 3, dan Vietnam 4.5. Hanya Brunei 5.5 dan Filipina 5.75 yang hampir sama dengan Indonesia.“Bagaimana bisa bangkit? Biaya modal, biaya bisnis kita relatif lebih mahal. Belum yang hilirisasi, yang katanya hingga sektor agromaritim, ini kan juga harus ekspor. Pelaku bisnis itu membutuhkan nilai tukar mata uang yang stabil dan suku bunga yang kompetitif. Pemerintah perlu gercep ini jelang 6 bulan masa pemerintahan,” kata Prof Didin lagi.
“Bisakah Indonesia kita bangkit? Harus diakui biaya modal, biaya bisnis kita relatif lebih mahal, birokrasi
kita masih dilumuri korupsi kolusi nepotisme,’’ imbuh Herdi Sahrasad, associate
professor di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Paramadina.
‘’Belum yang hilirisasi,
yang katanya hingga sektor agromaritim, ini kan juga harus ekspor. Pelaku
bisnis itu membutuhkan nilai tukar mata uang yang stabil dan suku bunga yang
kompetitif,’’ujar Didin.
‘’Pemerintah perlu gerak
cepat jelang 6 bulan masa pemerintahan,” kata Prof Didin lagi.
Selain itu, ia juga mengingatkan Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi kementerian yang tidak perform dan terlalu gemoi/gendut. “Karena terlalu gemoi/gendut, maka jadi beban ekonomi-politik, tidak lincah dan berbiaya tinggi juga. Sehingga kalau menteri2 tidak perform ya harus di-reshuffle,” kata para akademisi itu.
Dalam kaitan ini, menurut Herdi Sahrasad, pernyataan Presiden Prabowo bahwa tidak boleh ada negara dalam Negara,
menyangkut dua hal, yaitu ekonomi nasional dan penegakkan hukum (rule of law),
hanya bisa dipraksiskan,diimplementasikan dengan baik kalau melibatkan partisipasi
civil society dan kaum profesional. ‘’Apalagi politisi parpol di parlemen sudah disfungsional, tak mampu
melakukan checks and balances, tidak
komit pada rakyat, berwatak oligarkisme dan menjadi elite yang menghisap
sumber daya rakyat, keadaan ekonomi-politik oligarkis dua decade ini relatif menyengsarakan
rakyat banyak,’’tegas Herdi Sahrasad.
“Jangan lupa juga bahwa publik
melihat kinerja pemerintahan Prabowo ini masih terpenjara oleh pemerintahan
Jokowi,” imbuh Didin tegas.
(ff/berbagai sumber)
COMMENTS