BERLIN- Sebagai jurnalis muda dan aktivis jalanan, saya tiba di Berlin musim gugur 1993 dan menemui Prof Dr Ingrid Wessel, scholar lulusan Moskow Rusia di rumahnya yang sunyi. Ia bersikap ramah dan empati. Sejarawan Ingrid Wessel waktu itu dengan jelas dan cerdas menjawab apapun yang saya tanyakan terkait masa cemerlang dan kegelapan di Berlin Timur/Eropa Timur periode Perang Dingin . Artikulasinya perlahan tapi tajam,dengan pembawaan yang lembut menyentuh.
Ingrid Wessel cantik, lembut namun dahsyat dan paham benar kalau berkisah pergolakan mahasiswa dan gerakan sosial dalam lintasan sejarah Indonesia kontemporer. Dia bisa berbicara tentang gerakan nasionalisme para dokter muda Budi Utomo 1908, Zaman Bergerak awal abad 20, Sumpah Pemuda 1928, Gerakan Mahasiswa 1966, Gerakan Mahasiswa Malari 1974, gerakan mahasiswa 1977-78 dan pergolakan kaum muda waktu itu.
Tulisan ini hanya kepingan kenangan yang masih kuingat, dengan segala keterbatasan memoriku. Setahuku, Dr Ingrid Wessel adalah sahabat dekat yang disayang Prof Benedict Anderson, Cornell University,New York. Ben Anderson adalah guru/mentor kami di Cornell, AS yang meminta pemerintah Jerman mempertahankan Ingrid Wessel tetap sebagai pengajar/akademisi pasca ambruknyaTembok Berlin 1989 karena kualitas dan integritasnya sebagai ahli sejarah dan Asia Tenggara yang handal.
Prof Ingrid Wessel cantik, lembut namun dahsyat dan paham benar kalu berkisah pergolakan mahasiswa dan gerakan sosial dalam lintasan sejarah Indonesia kontemporer. Dia bisa berbicara tentang gerakan nasionalisme para dokter muda Budi Utomo 1908, Zaman Bergerak awal abad 20, Sumpah Pemuda 1928, Gerakan Mahasiswa 1966, Gerakan Mahasiswa Malari 1974, gerakan mahasiswa 1977-78 dan pergolakan mahasiswa/kaum muda era Orde Baru waktu itu.
Dan yang mengharukan, Prof Ingrid Wessel dengan sendu menyampaikan kepedihannya tatkala menyaksikan sejumlah rekan akademisinya bunuh diri karena diberhentikan sebagai dosen/pengajar di kampus-kampus Jerman Timur setelah Jerman Timur reunifikasi, disatukan kembali menyusul runtuhnya Tembok Berlin, ambruknya Blok Soviet/Komunisme di Eropa 1989-1990. Komunisme yang membusuk itu ambruk menyisakan kepingan kepedihan dan jutaan luka yang tak terjerit dari totaliterisme yang sarat penyakit. ''Sejumlah rekan saya sebagai akademisi atau peneliti dipensiun pemerintahan Jerman di Bonn, dengan alasan tak memenuhi kualifikasi sebagai ilmuwan sejak Jerman bersatu kembali, dan mereka bunuh diri, mengalami kekecewaan kronis dan frustasi, demikian halnya para pekerja bergelar sarjana, banyak yang bunuh diri karena diberhentikan pemerintah Jerman bersatu, ''ujarnya pelan.
Ingrid Wessel lahir pada 11 Januari 1942 di Bobersberg, distrik Crossen (Oder)) adalah seorang sejarawan Jerman dan sarjana Asia Tenggara yang fokus utamanya pada sejarah dan budaya Indonesia.
Ingrid Wessel didelegasikan untuk belajar di luar negeri di Universitas Lomonosov di Moskow, tempat ia belajar studi Indonesia. Sejak tahun 1967 ia mengadakan magang ilmiah terjadwal di Universitas Humboldt Berlin (HUB), dan pada tahun 1970 ia menjadi asisten peneliti. Pada bulan Oktober 1972 ia menerima gelar PhD (Doktor) dengan tesis tentang topik borjuasi Indonesia, permasalahan perkembangan dan kedudukannya dalam perjuangan kemerdekaan nasional sampai dengan tahun 1965.
Pada bulan Februari 1983, Wessel menjadi dosen universitas untuk sejarah modern Asia Tenggara di departemen Asia Tenggara pada bagian Studi Asia di Humboldt, HUB. Pada tahun 1988 ia menjadi profesor penuh sejarah modern Asia Tenggara, dan dari tahun 1994 hingga pensiun pada tahun 2007 ia mengajar sebagai profesor studi Indonesia pada Seminar Studi Asia Tenggara di HUB. Ia juga menjabat sebagai kepala departemen studi “Asia Tenggara Modern”. Ia juga menulis tesis tentang perkembangan struktur sosial dan pemimpin politik di Indonesia dan Filipina pada 1982.
Inggrid
Wesel mengakui bahwa kekerasan telah menjadi topik utama dalam agenda politik
sejak peristiwa yang menyebabkan jatuhnya Orde Baru Soeharto pada tahun 1998.
Jika
melihat kembali Indonesia, bentrokan yang disertai kekerasan dan - sebagian besar
anti-Tionghoa - kerusuhan pada bulan Mei 1998 hanyalah gambaran awal dari
kekacauan di Timor Timur yang terjadi setelah pemungutan suara untuk kemerdekaan
pada tanggal 30 Agustus 1999. Di sana, militer Indonesia dan "milisi"
paramiliter menciptakan iklim di mana penindasan fisik berjalan beriringan
dengan pembakaran dan penghancuran bangunan, pemerkosaan massal, dan
pembunuhan. Ingrid melihat laporan tentang kekerasan yang meluas di Maluku, Aceh, Irian Jaya,
dan tempat-tempat lain menimbulkan banyak pertanyaan baik di dalam maupun di
luar Indonesia, yang sangat kontras dengan gambaran umum budaya Indonesia yang
suka bermusuhan dan menghindari konflik.
Sejalan
dengan minat media umum terhadap kekacauan di Indonesia, kekerasan di Indonesia
juga menjadi subjek penelitian ilmiah yang intensif. Volume ini memuat makalah
yang dipresentasikan pada konferensi tentang "Konflik dan Kekerasan di Indonesia" yang diadakan di Universitas
Humboldt di Berlin. Konferensi ini tidak dimaksudkan untuk membahas teori
global tentang kekerasan atau kekerasan sebagai bagian dari sifat manusia atau
pendekatan esensial lainnya.
Sebaliknya,
fokusnya adalah pada berbagai bentuk kekerasan, pada faktor dan keadaan lokal
dan nasional yang menimbulkan kekerasan. Konferensi Berlin untuk menghormati
Ingrid Wessel ini mempertemukan para pemikir
dan penulis yang membahas berbagai aspek kekerasan dengan pendekatan dan
interpretasi yang berbeda terhadap topik tersebut. Hasilnya adalah "uraian
mendalam" tentang peristiwa kekerasan, tentang bagaimana kekerasan telah
dan sedang diproduksi, direpresentasikan, dibayangkan, dilawan, dan bagaimana
kekerasan harus dihukum dan dicegah.
Dalam
pengantarnya untuk menghormati Prof Ingrid Wessel, aktivis HAM dan advokat
terkemuka Dr Adnan Buyung Nasution berhujah perlahan bahwa,’’Jika seseorang
ingin memahami politik kontemporer di Indonesia, pertama-tama ia harus melihat
ke belakang dan mengembangkan pemahaman tertentu tentang asal muasal
perkembangan modern. Hanya jika seseorang mengenal warisan sejarah Indonesia,
seseorang dapat benar-benar melihat dan menilai apa yang terjadi di negara
besar ini yang dicirikan oleh keragaman dan bahkan ambiguitasnya yang sangat
besar. Tidak banyak akademisi, saat ini, yang memiliki konsepsi menyeluruh yang
memungkinkan mereka untuk mengamati dan mengevaluasi secara kritis kontinuitas
dan perubahan,’’ kata Bang Buyung
‘’Sejak saya mengenal Ingrid Wessel, saya
selalu mendapat kesan bahwa ia mewakili tipe akademisi yang memiliki kerangka
kerja untuk menganalisis Indonesia. Di luar kontribusi akademis Ingrid Wessel,
ia telah terlibat aktif dalam mendukung gerakan hak asasi manusia Indonesia
sebelum dan sesudah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998,’’ ungkap Bang Buyung Nasution
BERSAMA Bang Buyung Nasution/Kak Ria, herdi sahrasad/istri, Bang Hariman Siregar/Mbak Nuri, Cottage Ancol, Jakarta 1997
Adnan Buyung Nasution menambahkan, banyak kritikus dari Indonesia mengunjungi Universitas Humboldt di Berlin dan diundang olehnya untuk menyampaikan ide-ide mereka kepada audiens Jerman. '' Saya sangat yakin bahwa Ingrid Wessel telah memberikan kontribusi penting dalam meningkatkan kesadaran politik Jerman terhadap Indonesia,’’ tuturnya. Sebagai jurnalis, saya sengaja mencari Prof Wessel untuk bertanya perubahan di Jerman menyusul ambruknya Tembok Berlin pada 1993, bersama Sugeng SP waktu itu.
Akademisi Uta Gärtner mengenang bahwa,sekitar 45 tahun yang lalu Ingrid Wessel mengumumkan keputusannya untuk mengambil jurusan studi Indonesia di Moskow, Rusia dan ia memperoleh kekaguman dan rasa skeptis dari teman-teman sekelasnya yang pernah bekerja sama dengannya selama satu tahun di sebuah desa dekat Halle/Saale. Apakah mungkin bagi seorang gadis Berlin Timur untuk mempelajari bahasa asing seperti ini melalui bahasa asing lainnya di tempat asing? Ya, mungkin. Ingrid Wessel teguh memantapkan langkahnya.
Jika ada kesulitan, Ingrid mengatasinya dengan cara pantang
menyerahnya sendiri, yang menjadi ciri khasnya hingga hari ini. Bahkan ketika
setelah kembali, urusan keluarga menyita banyak energinya, ia masih berhasil
mengejar karier akademisnya sendiri dengan sukses. Saat ia bergabung dengan
Jurusan Studi Asia saat itu merupakan periode konsolidasi dan perluasan studi
Asia Tenggara yang cukup besar di Universitas Humboldt, Berlin Timur. Ia
berkontribusi pada peningkatan profil tidak hanya mata kuliah khususnya, studi
Indonesia, tetapi juga jurusan secara keseluruhan. Salah satu ciri luar biasa
dari karya akademis Ingrid Wessel adalah kemampuannya untuk menciptakan
hubungan yang menyeluruh antara karya penelitiannya sendiri dan pengajaran
kepada para siswa. Sejak awal, ia mencurahkan banyak waktu dan energinya untuk
menemukan cara terbaik untuk menyampaikan sebanyak mungkin pengetahuan kepada
para siswa.
Tidak seperti rekan-rekannya yang lain, mengajar baginya tidak pernah menjadi tugas yang menjengkelkan yang menghalanginya untuk menghargai penelitian, tetapi justru menjadi bagian integral dari aktivitasnya, bidang tempat ia menerapkan temuan-temuan ilmiah dan memperoleh motivasi baru untuk isu-isu penelitian lebih lanjut. Sikap dasar ini tercermin dalam semua aspek karyanya. Sejumlah besar artikel menjadi saksi keterlibatannya sendiri dengan sejarah modern Indonesia, khususnya dengan proses-proses yang berkaitan dengan pembangunan negara dan pembangunan sosial. Namun, yang paling menonjol adalah buku-buku yang ditulis dan disuntingnya, misalnya, tentang sejarah Indonesia (Geschichte Indonesiens: Vom Altertum bis zur Gegenwart), yang ditulis bekerja sama dengan Hans-Dieter Kubitscheck pada tahun 1981. Publikasi lainnya membuktikan kerja samanya yang luas dengan para sarjana dan akademisi dari seluruh dunia,yang memiliki minat akademis dan perhatian politik yang sama. Ia menulis disertasi berjudul'' Die indonesische Bourgeoisie. Probleme ihrer Entwicklung und ihrer Stellung im nationalen Befreiungskampf bis zum Jahre 1965. Dissertation. Humboldt-Universität zu Berlin 1972.''
Para akademisi dan intelektual mengakui, kalau kita menelaah jejak karya Ingrid Wessel selama beberapa dekade terakhir mengungkap tiga hal: pertama, pengetahuannya yang luas dan minatnya yang mendalam terhadap proses sosial di Asia Tenggara, kedua, pendekatan kritisnya dalam menangani wacana sejarah dan perkembangan kontemporer, dan ketiga, standar kinerja tinggi yang ditetapkannya sendiri. Meskipun seorang spesialis dalam sejarah Indonesia dan ditunjuk untuk mengajar mata kuliah ini, dalam kuliah-kuliahnya ia telah membahas berbagai tema dan mengajar tentang topik-topik seperti demokratisasi, dekolonisasi, dan masyarakat sipil di seluruh wilayah. Dengan melakukan hal itu, ia telah menanggapi kebutuhan untuk membantu para mahasiswanya mengamati, menilai, dan membandingkan perkembangan di berbagai negara di Asia Tenggara. Telah sekian waktu, Ingrid sebagai akademisi Jerman telah berpulang ke Rahmatullah.
Selamat jalan Ibu Ingrid Wessel dan istirahlah di rumah keabadian. Amin
(catatan kecil herdi sahrasad, dosen Universitas Paramadina dan aktivis INDEMO-Indonesian Democracy Monitor pimpinan Dokter Hariman Siregar, Tokoh Malari 1974. Dirangkum dari berbagai sumber)
COMMENTS