OPINI-Agaknya, Singapura mulai 'bersih-bersih' dari dirty money (uang kotor) hasil kejahatan keuangan. Ya. Gebrakan PM Lawrence Wong menyita kekayaan yang bersumber dari uang kotor cukup mengejutkan publik. PM Wong bertekad menjaga reputasi Singapura sebagai pusat keuangan terpercaya.
Oktober 2023 lalu, ia menyita aset senilai Sing$ 2,8 Miliar atau setara USD 2 Miliar mulai dari uang tunai sampai uang kripto. Dan pada Juni 2024 kemarin, Singapura kembali menyita Sing$ 6 Miliar terkait kriminal dan pencucian uang selama lima tahun terakhir.
Langkah Wong membuat para penyimpan dan penikmat uang kotor 'menggigil' pada satu sisi; sedang di sisi lain, Indonesia baru akan memulai family office justru mencontoh pola dan modus Singapura. Wacananya akan dipusatkan di Bali dengan insentif bebas pajak atau tax heaven.
Beberapa kalangan menganggap, gebrakan Wong hanya pencitraan belaka. Mengapa? Ya. Singapura tak akan pernah bersih dari dirty money karena statusnya sebagai pusat keuangan Asia Pasifik (bersama Hongkong). Ia akan selalu menjadi magnetnya uang. Regulasi keuangan Singapura pun memakai Common Law ala Inggris, Amerika dan Australia yang membuat regulasinya lentur atau fleksibel sehingga mempermudah uang masuk, baik uang bersih maupun uang kotor.
Balik sejenak ke laptop. Jadi, apa bedanya _tax heaven dengan family office, dan adakah keterkaitan dengan dirty money?
Ada yang mengatakan berbeda. Ada yang bilang sama. Keterangannya begini, tax heaven itu berbeda dengan tax holiday. Kalau tax heaven memiliki ciri: 1 tax rate rendah; 2 tidak memberlakukan tax treaty; 3 tidak di bawah kendali Bank Sentral dan Regulator Keuangan Tradisional, serta pengecualian lainnya. Dengan syarat semacam ini, sepertinya Bali tidak layak (dan tak pernah akan mungkin) menjadi tax heaven, sehingga family office sulit tumbuh berkembang di Bali. Akan tetapi, tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa family office ialah bahasa lain dari tax heaven. Sama saja.
Jadi?
Untuk melanjutkan tulisan ini, kita tampung saja kedua pendapat berbeda tentang tax heaven. Dan pada ulasan di bawah nanti ada poin yang menyambungkan keduanya dengan dirty money alias uang kotor.
Terkait hal-hal di atas, lingkungan strategis sebagai isu yang mutlak dicermati adalah:
Pertama: Ditekennya MoU Extradisi Buronan antara Indonesia - Singapura (2022), dan
Kedua: Wacana akan dijalankannya UU Mutual Legal Assistance (UU MLA) atau UU No 5/2020 oleh Rezim Baru (2024 - 2029) yang diprakirakan bisa menimbulkan 'gempa politik' sangat dahsyat di Indonesia.
Adakah keterkaitan antara fakta dan data di atas, lalu bagaimana prakiraan situasi ke depan?
Antara fakta serta data di atas jelas ada keterkaitan, misalnya, larinya sebagian uang kotor dari Singapura ke Indonesia, misalnya, atau uang dari Swiss dan lainnya, mungkin melalui isu-isu tertentu, antara lain:
1. Isu Money Laundering. Bahwa diprakirakan bakal banyak dana masuk ke Indonesia atas nama family office (entah dari Singapura, Swiss dll). Dan Bali kelak, akan dijadikan semacam 'tax heaven country'-- meski beberapa pelaku industri family office justru pesimis karena faktor infrastrukrur keuangan yang belum memadai;
2. Juga, dengan aturan/UU kita yang berciri Civil Law, tak memungkinkan Bali bisa menjadi tax heaven.
3. Isu Crazy Rich Nanti bak Jamur di Musim Hujan (praktik money laundering). Ya, niscaya akan bermunculan Crazy Rich membuka aneka bisnis baru atas nama 'jiwa nasionalis' akibat PHK, sempitnya lapangan kerja di Tanah Air. Termasuk isu makan gratis oleh pengusaha dadakan (atau mendadak pengusaha) para selebritis;
4. Sekali lagi, ada yang mengatakan bahwa family office ini merupakan penghalusan dan/atau ujud lain dari tax amnesty yang kemarin dinilai gagal;
5. Dan lainnya (silakan isi sendiri).
Menurut Ichsanuddin Noorsy, family office menggambarkan bahwa Indonesia bukan negara tujuan investasi. Kenapa begitu? Sebab, Elon Musk, Masayoshi dan sejumlah investor lain menilai buruknya keputusan politik dan penegakkan hukum di Indonesia. Pemerintah banyak berstandar ganda. Kepastian hukum rendah, tergantung maunya penguasa, imbuh Noorsy, pakar ekonomi politik.
Konon (kata sumber yang tidak mau disebut nama), diskusi kelompok kecil di lingkungan industri keuangan yang membahas family office, salah satu peserta diskusi sempat ngobrol dengan pemain industri family office. Ia mengatakan:
"Kok, tega banget ya pemerintah ini ngibulin rakyatnya terus menerus dengan ide-ide gila yang tak habis-habisnya".
Lantas, siapa yang akan diuntungkan dengan adanya family office di Bali kelak?
Ini juga konon lagi. Sumber tidak mau disebut. Isu family office mirip 'isu esemka'. Kalau berjalan yang diuntungkan ialah Indonesia. Yang dirugikan justru Jepang, Korea, China, Amerika, Eropa dan lainnya. Namun, masalahnya -- esemka hanya wacana bohong.
Bahwa dirty money yang selama ini mengendap di Singapura karena faktor 'kebodohan' Kemenkeu RI (atau sengaja disuruh bodoh). Absennya regulasi tentang _transfer pricing_ (dalam ketentuan akuntansi dan auditing Indonesia) dianggap sebagai salah satu biang kerok dan penyebab sehingga yang diuntungkan justru Singapura, HK dan Cayman, dan British Virgin Island oleh aliran pencucian uang dari Indonesia.
Mengakhiri catatan singkat ini, simpulan prematur yang dapat dipetik ialah bahwa family office merupakan ide setengah matang yang meluncur tanpa kajian. Seperti halnya berbagai ide kosong yang telah kita dengar bersama. Di ujung kekuasaannya, rezim ini dipenuhi ide yang mencerminkan kebangkrutan intelektualitas. Dan daftar kebohongan bertambah panjang, misalnya:
- Esemka (ternyata bohong)
- Indonesia Raja Nikel Dunia (ternyata isinya bagi-bagi lahan tambang)
- Tax Amnesty (gagal)
- Pertumbuhan Ekonomi 7% (gagal)
- Omnibus Law alias UU Cipta Kerja (yang sampai hari ini implementasinya masih rancu sehingga menimbulkan kekacauan di lapangan)
- Kereta Api Cepat Tanpa APBN (bohong)
- IKN (yang isinya kebohongan mulai dari investor asing, non-utang, dll)
- Dan masih banyak lagi lainnya. Yang paling terkini adalah Family Office (yang kalau dilihat dari praktik lapangan, prakondisi infrastruktur fisik, legal, regulasi, ekosistem, dan bisnisnya -- untuk bisa terealisasi, ide ini masih nol besar alias belum ada sama sekali).
Demikian sepintas isu tentang family office yang tengah viral lagi aktual menjelang akhir Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.
______________
Oleh: Muhammad MAP
COMMENTS