OPINI-Terjadi pertempuran mashab ekonomi pada awal pemerintahan Soeharto, antara pemikiran dua begawan ekonomi Indonesia: Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo dan Prof. Sarbini Sumawinata vs pemikir ekonomi muda kala itu (awal 1970-an); Prof. Widjojo Nitisastro dan Prof. Ali Wardhana cs.
Soemitro dan Sarbini, duo sosialis berorientasi negara kesejahteraan dan ekonomi yang berkeadilan sosial dan pribumi sebagai soko guru untuk mengatasi ketimpangan ekonomi dengan etnis Tionghoa, dan membatasi modal asing.
Sementara Widjojo Nitisastro cs., semua alumni Berkeley yang mashab Neolib pro pertumbuhan dan modal asing. Sehingga pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, dan pemerataan menjadi Trilogi Pembangunan Indonesia.
Di kelompok Berkeley ada nama-nama seperti: Prof. Emil Salim, Prof. Mohammad Sadli, dan Prof. Subroto.
Soemitro dan Sarbini masih terlibat kabinet awal Soeharto
Di awal Orde Baru; Soeharto menyusun kabinet memang kabinet ahli (Zaken Kabinet). Selain kelompok ekonom Berkeley (Prof. Widjojo Nitisastro cs) masih ada arsitek ekonomi Orde Lama; Prof. Soemitro sebagai Menteri Perdagangan Republik Indonesia. Soeharto tertarik dengan Soemitro dengan Program Benteng (1951) untuk mengatasi ketimpangan ekonomi.
Sementara begawan ekonomi lainnya; Prof. Sarbini justru dijadikan asisten Soeharto untuk bidang politik. Padahal yang mengenalkan konsep pembangunan ekonomi kepada Soeharto adalah Prof. Sarbini (1965). Hanya saja seperti yang kita ketahui dua begawan ekonomi ini berasal dari partai PSI (Sutan Syahrir) yang agak Sosialis, bertentangan dengan mashab Prof. Widjojo Nitisastro cs yang Neolib).
Soeharto tertarik dengan pertumbuhan dan Developmentalisme, sehingga menjadi pilihan mashab ekonomi Orde Baru. Dua ekonom Sosialis ini tersingkir pasca peristiwa Malari 1974, karena Sarbini dianggap terlibat penuh saat itu.
Profesor Sarbini adalah pendiri ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) pada tahun 1958 bersama Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo. Dengan bekal pendidikan di Belanda (1952), Harvard (1954), dan ilmu statistik di Kanada sehingga menjadi Kepala Biro Pusat Statistik (1955–1965). Bisa dikatakan beliaulah yang membangun awal statistik ekonomi Indonesia. Di era Orde Lama, beliau menjadi bagian dari Perencanaan Kemakmuran (1949-1950) yang merupakan cikal bakal Bappenas.
Pada tahun 1966 Soeharto sebagai caretaker memimpin Kabinet Ampera, Widjojo Nitisastro sebagai Ketua Tim Ekonomi, Sarbini sebagai Ketua Tim Politik, dan Ali Moertopo sebagai asistennya.
Pada tahun 1968 Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing, dan Penanaman Modal Dalam Negeri (1969). Investor asing dikhawatirkan akan menghimpit pengusaha lokal, maka Sarbini protes bersama para mahasiswa, yang dipimpin oleh Hariman Siregar yang juga sebagai menantunya.
Sarbini ditahan selama 808 hari tanpa pengadilan, dan semenjak itu hubungannya putus dengan Soeharto. Pemikiran ekonomi pembangunannya hidup, namun dengan mashab Neolib yang dimotori oleh Widjojo Nitisastro cs. Sejatinya ekonomi kerakyatan adalah gagasan Prof. Sarbini. seterusnya dikenalkan oleh Prof. Mubiyarto. Selanjutnya Mubiyarto melabel dengan Ekonomi Pancasila; ekonomi yang berkeadilan social, yang menjurus pada welfare state, seperti negara-negara Skandinavia. Peran negara sangat menentukan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat seperti Pasal 33 UUD 1945.
Sarbini menekankan bahwa negara harus dominan dalam perekonomian, berorientasi pedesaan dan modernisasi (teknologi tepat guna) pada industri pertanian. Sarbini ingin meneruskan cita-cita Sosialisme Kerakyatan sebagai alternatif sistem kapitalisme pasar. Pasar harus ditatakelola agar tidak liberal dan melindungi ekonomi pertanian dan ekonomi desa. Sudah jelas bertentangan dengan madhab Neolib yang dianut Widjojo Nitisastro cs. Dan akhirnya hubungan berakhir dengan Peristiwa Malari 1974.
Sebagai ekonom, Prof. Sarbini Sumawinata dipercaya menjadi Menteri Transportasi dan Koperasi (1967–1971). Berikutnya pada tahun 1971–1976 beliau menjadi asisten Presiden Soeharto dalam bidang politik, sedangkan Ali Moertopo sebagai wakilnya. Setelah peristiwa Malari, Ali Moertopo berkuasa mutlak di bidang politik dengan think tank CSIS.
Profesor Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai partner Profesor Sarbini Sumawinata dipercaya menjadi Menteri Perdagangan (1971–1976). Soeharto mempertimbangkan kesenjangan ekonomi yang dikuasai etnis Tionghoa. Pada tahun 1950–1951 Soemitro berhasil dengan Program Bentengnya.
Langkah kongkret program Benteng adalah dengan memberi kewenangan impor khusus kepada pengusaha pribumi, dan memberi kredit modal. Walau hanya setahun, karena Kabinet PM Mohammad Natsir bubar (1951), tetapi menghasilkan pengusaha-pengusaha, seperti: Hasyim Ning (mobil), Bakrie (Perkebunan), Kalla (Perdagangan), Pardede (tekstil), Rahman Tamin (tekstil), Soedarpo (perkapalan), Dasaad (perdagangan), S Tando (perdagangan), Jusuf Merukh (perdagangan), Andi Sose (taksi), dan lain-lain. Sampai saat ini sudah memasuki generasi dua dan ketiga.
Pada masa Soeharto, era Ginandjar Kartasasmita sebagai Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (1988), dengan alokasi kredit membina pengusaha pribumi tercatat nama-nama; Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla (Bukaka), Aksa Mahmud (Bosowa), Abdul Latief (Pasaraya), Surya Paloh (Media), Sutrisno Bachir (Ikamuda), Wiwoho Basuki Tjokronegoro (Tripatra), Probosutedjo (Mercubuana), Arnold Achmad Baramuli, Fahmi Idris (Kodel), Ponco Sutowo (Hilton/Nugra Santana), Imam Taufik (HIPPI/Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia), Bambang Yoga, dan lain-lain; berhasil mengurangi ketimpangan, tetapi konglomerasi Salim cs. sudah terlalu kuat sehingga belum berhasil mengatasi ketimpangan ekonomi.
Satu lagi jasa Soemitro Djojohadikoesoemo, adalah pencanangan industrialisasi. Pembangunan industri dasar seperti, pemintalan (tekstil), semen (konstruksi dan infrastruktur), industri karung, dan percetakan, serta pupuk.
Memprediksi Madhab Ekonomi Prabowo Subianto (Prabowonomics)
Jika melihat mindset Prabowo Subianto selama ini, jelas dia seorang Nasionalis yang Saptamargais dan NKRI. Dalam berpolitik, sepulangnya dari Yaman pada tahun 2003, dia tertarik dengan pertanian dan ekonomi pertanian (kerakyatan).
Sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo sepenuhnya berorientasi pada sistem ekonomi liberal (pasar), dimana investor asing dominan, dalam hal ini Tionghoa.
Sehingga tercipta poros Jakarta–Beijing. Pada domestik ekonomi, pasar sangat dikuasai taipan, pengusaha etnis Tionghoa. Ekonomi menjadi timpang, begitu juga dengan ketimpangan sosial, dimana 4% etnis Tionghoa menguasai 55% aset Indonesia. Sepuluh persen orang kaya (mayoritas etnis Tionghoa) menguasai 90% aset Indonesia.
Ketimpangan menjadi obsesi Prabowo Subianto. Berikutnya, kemiskinan dan ketertinggalan menjadi target pembebasan Prabowo Subianto menuju Indonesia Emas 2045. Indonesia perlu berbenah karena bonus demografi, jika tidak dikelola, akan menjadi musibah, karena usia muda 35 tahun ke bawah akan mencapai 65% dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035.
Program Makan Gratis merupakan usaha dasar perbaikan gizi anak Indonesia yang IQ (Intelligence Quotient/nilai kecerdasan seseorang) rata-ratanya hanya 75–80 saja. Dalam praktek ekonomi, biaya tinggi akibat pemburu rente dan korupsi diharamkan di pemerintahannya kelak (2024–2029).
Kekayaan sumber daya alam sesuai perintah Pasal 33 UUD 1945 akan dieksploitir untuk seluas-luasnya kesejahteraan dan kemakmuran Indonesia, seperti cita-cita kemerdekaan, dan juga Partai Gerindra.
Oleh karena itu beliau mencanangkan peningkatan ratio pajak dari 10,31% menjadi 23%. Fantastis, jika tidak dijelaskan dari sektor apa peningkatan ruang fiskal tersebut. Sri Mulyani Indrawati pada saat di DPR hanya menjelaskan peningkatannya, sehingga pasar menerima secara negative, dan eksesif terjadi gejolak valuta asing dan saham, dan rating investasi turun menjadi Underweight.
Padahal ini adalah rapor pemerintahan Joko Widodo yang dinilai JP Morgan berisiko secara investasi. Kenapa dilempar kepada Prabowo? Seperti maling teriak maling.
Prabowo Subianto ingin meningkatkan ratio pajak bagi taipan yang memarkir uangnya di luar negeri (untuk menghindari pajak), dan meningkatkan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), khususnya bagi hasil dari migas dan pertambangan, karena negara kita kaya akan batubara, gas alam, panas bumi, uranium dan nikel. Prabowo Subianto memandang profit sharing tidak fair, sehingga akan dibuat skema yang lebih fair untuk Indonesia.
Dengan fenomena di atas, terlihat Prabowo Subianto mengarah kepada negara kesejahteraan (welfare state), dimana peran negara menjadi dominan pada perekonomian bangsa, bukan pasar bebas yang hanya menguntungkan investor (kapitalisme). GDP (Gross Domestic Product) yang tinggi dinikmati oleh segelintir orang, sehingga tidak berdampak pada tenaga kerja, pengentasan kemiskinan, dan ketimpangan sosial.
Ekonomi pasar bebas tuntutan LoI IMF/World Bank (1998), dimana subsidi diharamkan, padahal negara berkembang bentuk kesejahteraan dari besarnya subsidi. Kebutuhan pangan (Food Security) terancam impor, dan tergantung asing karena petani beralih profesi. Mulai dari kebijakan lahan, subsidi bibit, pupuk, dan pendampingan, serta distribusi yang dulu dijamin Bulog (Badan Urusan Logistik), semenjak Reformasi, dilepas kepada pasar. Sehingga muncul kartel pangan, dan pemerintah tidak berdaya dalam tatanan pasar.
Prabowonomics dan Badan Penerimaan Negara
Prabowo Subianto menyadari bahwa kita “bablas” kepada ekonomi pasar, dan
lemah dari sisi fiskal (penerimaan negara). Jika ditunjuk salah satu kelemahan Sri Mulyani Indrawati adalah, masalah fiskal mulai gagal dengan Tax Amnesty yang sedianya memulangkan dana parkir di luar negeri senilai Rp 11.000 triliun. Ternyata dana taipan hanya Rp 4.000 triliun, dan dominan di Singapura. Sementara Rp 7.000 triliun adalah milik personal hasil korupsi (money laundering) tentu menyalahi hukum untuk dimaafkan.
Joko Widodo dan Luhut Binsar Pandjaitan, baru-baru ini memunculkan skema Family Office di Bali, akan dibuat khusus area bebas pajak agar bisa menjadi penampung dana jenis tersebut.
Kelemahan fiskal diatasi Prabowo Subianto dengan memisahkan fiskal dan
moneter dari Kementerian Keuangan, dengan membentuk Badan Penerimaan
Negara.
Tercatat nama-nama; Sudradjat Djiwandono dan Burhanuddin Abdullah (keduanya mantan Gubernur Bank Indonesia era Orde Baru), Fuad Bawazier (mantan Menteri Keuangan, 1997), ahli pajak Prof. Edi Slamet Irianto, Prof. Ferry
Latuhihin, ekonom pasar yang juga Ketua Bidang Ekonomi di TKN (Tim Kampanye Nasional) Prabowo Subianto. Mashab utuh pilihan Prabowonomics bisa kita lihat jika kabinet bidang ekonomi sudah tersusun. Para ekonom sekarang yang mendukung Prabowo Subianto terkesan kembali kepada ekonomi konservatif dengan prinsip; prudent value management sehingga pasar dikendalikan.
Apakah konsep Sarbini Sumawinata dengan konsep ekonomi berbasis kebudayaan, yang akan ditempuh Prabowo Subianto, dan digabung dengan konsep pemerataan Soemitro Djojohadikoesoemo untuk mengatasi ketimpangan yang menjadi dasar ekonomi kerakyatan Indonesia, dan Profesor Mubiyarto mendetailkannya dengan Sistem Ekonomi Pancasila?
Perubahan yang berkelanjutan dimulai dengan perbaikan gizi untuk Sumber Daya Manusia, mempromosikan nilai- nilai kebudayaan secara holistik, orientasi nilai pada kohesi social, bukan individualistik seperti sistem kapitalisme. Azas gotong-royong dalam menuju semua National Interest sehingga kedaulatan ekonomi mendorong tumbuhnya ekonomi kerakyatan (UMKM). Prabowo Subianto harus berani menerapkan sistem ekonomi inklusif dengan peningkatan KUR (Kredit Usaha Rakyat) di atas 20%, sesuai pertumbuhan ekonomi berbasis UMKM. Untuk mewujudkan itu perlu dirilis Badan Korporasi Nasional, atau yang disebut ‘Indonesia Incorporated’, seperti Temasek (Singapura), Khazanah (Malaysia), agar terjadi koordinasi swasta besar, BUMN dan UMKM, dan sinkronisasi usaha dalam bendera kompetisi global.
Dengan kelembagaan tersebut, bisa diterapkan SWF (Sovereign Wealth Funds) dengan pendanaan besar hasil obligasi aset sumber daya alam dalam penjualan jangka menengah dan panjang.
Norwegia sebagai welfare state dikenal berhasil mengelola SWF yang mencapai
aset dengan keuntungan pada tahun 2023 mencapai Rp 3.363 triliun. Bahrain, Qatar, Kuwait, berhasil dengan skema ini. Prabowo Subianto membutuhkan ekonom tingkat dunia, Indonesia masih mempunyai Prof. Iwan Jaya Azis Guru Besar di Cornell University dan mantan Direktur Bank Pembangunan Asia, adalah orang yang tepat menjadi arsitek ekonomi Indonesia.
Sri Mulyani Indrawati yang membangun dengan utang tentu perlu pengelolaan
yang sesuai dengan standar global. Kekuatan Iwan Jaya Azis dikombinasikan dengan teknokrat dan ekonom lokal, untuk penerapan ekonomi yang berlandaskan keadilan sosial. I JST
___________
Oleh: Eddy Junaidi (Yayasan Kalimasadha Nusantara)
COMMENTS