KONFRONTASI- Mengenang Jenderal TNI Purn Wijoyo Suyono adalah mengenang dedikasi dan patriotisme seorang tokoh bangsa yang berwibawa, berpengaruh, rendah hati, sahaja dan ramah sekali pada kaum muda, pada para yuniornya dari kalangan sipil maupun militer. Saya bersama tokoh bangsa Dr Rizal Ramli dan Wakil Sekjen Persatuan Alumni GMNI Nehemia Lawalata termasuk yang berguru pada Pak Wijoyo Suyono yang legendaries itu. Saya sering bertanya tentang masalah strategis dan keamanan ke depan di Asia Tenggara kepada beliau, dan bahkan saya diberi kebebasan untuk bertanya apa saja yang saya anggap penting.
Sungguh beliau menorehkan kesan pada kami yang sangat dalam: Jenderal Kerakyatan yang berintegritas, brilian dan patriotis sejati. Beliau mencintai bangsa ini sepenuhnya, dalam totalitas pengabdiannya pada Tanah Air, bangsa dan Negara. Pak Wijoyo Suyono adalah tokoh besar di ketentaraan, kebangsaan dan kerakyatan yang mendarmabaktikan hidupnya untuk rakyat kita, dan dia mendorong kita belajar setinggi langit, mencari pengalaman hidup dengan segala pahit getirnya untuk kebajikan dan kebaikan bagi negara bangsa yang menghadapi masalah dan tantangan kompleks sepanjang eksistensinya sampai hari ini. Wijoyo Suyono bagi kita adalah sosok teladan yang sangat dibanggakan: jenderal yang patriotis, merakyat, perduli dan humanis, menguasai bahasa Inggris, Belanda, Jepang dan China. .
Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto bersilaturrahmi dengan dua jenderal sepuh yaitu Letnan Jenderal TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo dan Jenderal TNI (Purn) Wijoyo Suyono jelang hari H Pilpres 2019, Prabowo banyak menerima dukungan dari tokoh agama dan tokoh meliter serta masyarakat.
Ketika Jenderal TNI (Purn) Wijoyo Suyono terbaring sakit, syahdan Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono menyempatkan diri untuk menjenguk Pak Wijoyo Suyono yang merupakan mantan Danpuspassus tersebut. Waktu itu Korps Baret Merah Komando Pasukan Khusus (Kopassus) berduka karena tak lama kemudian Pak Wijoyo berpulang ke Sang Khalik.
Sebagaimana diketahui, Danjen Kopassus ke-6 Jenderal TNI (Purn) Wijoyo Sujono meninggal dunia di Jakarta, Rabu (11/5/2022) dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Kepergian purnawirawan jenderal bintang empat ini disampaikan oleh Kapten Kopassus Letkol Inf Achmad Munir dan meninggal karena sakit.
Pak Wijoyo Suyono dan Pak Try SutrisnoPengamat militer dan politik Dr Selamat Ginting mencatat bahwa Jenderal TNI (Purn) Wijoyo Suyono (93 tahun) memiliki karier militer yang panjang. Wijoyo meniti karier dari pangkat Letda, Lettu, dan Kapten di Surabaya. Saat Kapten sebagai perwira Staf Resimen 33 Divisi VI/Narotama, dan Kepala Staf Batalyon 29.
Setelah itu, barulah ia dipercaya menjadi Wakil Komandan Batalyon Infanteri(Yonif) 511 (1949-1953). Usai menjadi Wakil Danyon, ia pun dua kali dipercaya menjadi komandan batalyon. Diawali sebagai Komandan Yonif 505/Brawijaya (1953-1955) dengan pangkat masih Kapten senior.
Selama 10 tahun menjadi perwira pertama, Wijoyo kemudian naik menjadi perwira menengah, Mayor. Kembali menjadi Komandan Yonif 514 (1955-1957). Lalu dikirim belajar ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung (1957-1959). Usai Seskoad ditempatkan di Pusat Infanteri Angkatan Darat, sebagai guru militer taktik (1959).
Empat tahun menjadi Mayor Infanteri, ia dipromosikan menjadi Letnan Kolonel Infanteri sebagai Kepala Staf Resimen Para Komando AD (RPKAD) pada 1959-1961. Kemudian menjadi Komandan Brigade/Para, Caduad-Kostrad (1961-1963). Ia akhirnya ditugaskan belajar ke Amerika Serikat (AS) di US Army Command & General Staff Colledge, Forth Leavenworth (1963-1964).
Pangkat Letkol Infanteri dijalaninya selama lima tahun. Pulang dari AS, ia naik pangkat menjadi Kolonel Infanteri. Sebagai perwira bantuan (Paban) Operasi Staf Umum II AD (1964-1965). Anak buah dari Asisten Operasi Panglima Angkatan Darat, Mayjen Jamin Ginting, lulusan komandan kompi Gyugun Sumatra tahun 1945.
Jenderal tempur
Pengamat militer dan politik Dr Selamat Ginting menekankan bahwa hanya dua tahun Wijoyo menjadi Kolonel, kemudian dipromosikan menjadi perwira tinggi. Total selama 20 tahun ia menjadi perwira pertama dan menengah. Akhirnya menjadi jenderal bintang satu (Brigadir Jenderal TNI) dalam usia 37 tahun, ketika situasi genting peristiwa Gerakan 30 September (G30S)/PKI tahun 1965.
Dia menjadi perwira tinggi dengan jabatan pertama, Panglima Komando Tempur IV (1965-1967). Lalu menjadi Komandan Puspassus (Pusat Pasukan Khusus) AD (1967-1970). Wijoyo menggantikan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.
Puspassus adalah nama pengganti Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang sekarang bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Komandan RPKAD sebelumnya untuk pangkat Kolonel. Setelah itu, jabatan tersebut dinaikkan statusnya dijabat Brigjen. Sebagai Komandan ke-6 Kopassus, Wijoyo sudah berpangkat Brigjen. Promosi lagi sebagai Panglima Kodam XIII/Merdeka di Sulawesi Utara (1970-1971).
Setelah enam tahun dalam pangkat Brigjen TNI, ia naik pangkat menjadi Mayor Jenderal TNI dengan jabatan Panglima Kodam VIII/Brawijaya (1971-1975). Empat tahun menjadi Pangdam Brawijaya, tempat pertamanya sebagai perwira usai lulus dari PETA, Juni 1945.
Sejarah dan Riwayat
Ia dilantik pada Juni 1945 sebagai perwira pertama setingkat komandan peleton (Letnan Dua/Letda) PETA (Pembela Tanah Air). Menggunakan topi pet, seragam hijau berkerah putih lengkap dengan samurai yang bertengger di pinggangnya. Saat itu, ia adalah seorang remaja pria berusia 17 tahun satu bulan.
“Saya lulusan termuda pendidikan Shodanco PETA,” kata mantan Kepala Staf Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamib) pada 1980-1982, suatu ketika ditemui Republika di rumahnya sambil mengenang peristiwa tahun 1945.
Diwisuda sebagai perwira setelah menyelesaikan pendidikan perwira sukarela PETA di Bogor.Kini markas Pendidikan PETA menjadi Museum dan Monumen PETA di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 35, Kota Bogor Bogor, Jawa Barat. Satu rangkaian bangunan dengan Pusat Pendidikan Zeni Angkatan Darat.
Paramiliter Jepang
PETA adalah kesatuan para militer sukarela yang dibentuk Jepang pada 3 Oktober 1943, saat penjajahan Dai Nippon di Indonesia. Lahirnya PETA tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan Jepang untuk memperkuat militernya dalam Perang Dunia II (PD II). Personel PETA adalah para pemuda Indonesia dan dibentuk untuk membela Tanah Air dari ancaman Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya yang dihadapi Jepang.
Wijoyo Suyono sesungguhnya tidak memenuhi syarat saat mendaftar sekolah perwira untuk menduduki posisi komandan peleton (Shodancho). Persyaratan untuk mengikuti pendidikan Shoodancho PETA selama sekitar empat bulan itu, minimal berusia 18 tahun dan maksimal 25 tahun. Padahal saat mendaftar, usia Wijoyo pun belum genap 17 tahun. Ia sesungguhnya baru berusia 16,5 tahun.
"Saya akali agar bisa diterima mengikuti pendidikan Shodanco PETA,” kata Wijoyo, suami dari almarhumah Siti Mastoechajah. Dari perkawinannya, dikaruniai lima anak, yakni Enny Lukitaning Diah, Wedhia Purwaningsih, Ariyati Sihwarini, Hardini Surjaningsih, dan Budhi Soejono. Data seperti tertulis dalam Wikipedia.
Wijoyo dilahirkan di Tulungagung, Jawa Timur pada 9 Mei 1928. Ia putra bungsu dari 15 bersaudara. Ayahnya Martodidjojo, garis leluhurnya berasal dari Surakarta. Ibunya, Roesmirah, memiliki leluhur dari Yogyakarta. Wijoyo kerap di panggil dengan sebutan Willy. Ia menempuh sekolah dasar (SD), bahasa Belandanya lager onderwijs di HIS (Hollandsch-Inlandsche School).
HIS merupakan sekolah Belanda untuk bumi putera pada masa penjajahan. Sekolah ini didirikan di Indonesia pada 1914. HIS termasuk sekolah rendah (SR) dengan bahasa pengantar Belanda (Westersch lager onderwijs). Dibedakan dengan inlandsche school yang menggunakan bahasa daerah.
HIS diperuntukan bagi golongan penduduk keturunan Indonesia asli. Umumnya untuk anak-anak dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, atau pegawai negeri. Lama sekolahnya tujuh tahun.
Kemudian Wijoyo melanjutkan kesekolah teknik di Surabaya. Pada zaman penjajahan Belanda bernama KES (koningen emma school). Di zaman pendudukan Jepang disebut kogyo gakko atau sekolah pertukangan dengan lama pendidikan empat tahun. Sekolah tersebut kini bernama SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) I Surabaya.
Tinggalkan Sekolah
Saat mengikuti pendidikan KES dan bergantinama kogyo gakko, Wijoyo tertarik dengan pengumuman dari PETA. Dia pun meninggalkan bangku sekolah untuk mendaftar menjadi tentara sukarela. Pemerintah Jepang membagi beberapa tingkatan sekolah paramiliter PETA.
Daidanco adalah pasukan PETA yang paling tinggi, yakni batalyon (setingkat mayor). Cudanco merupakan komandan kompi (setingkat Kapten) bagi lulusan setingkat sekolah menengah atas dan pernah mengenyam pendidikan militer Jepang.
Shodanco (setingkat Letda) bagi masyarakat yang pernah mengenyam sekolah tingkat menengah pertama. Budanco (setingkat Sersan Dua) adalahanggota yang pernah mengenyam bangku pendidikan SD. Giyuhei (setingkat Prajurit Dua) adalah anggota PETA yang belum lulus SD.
Dari sisi pendidikan umum, Wijoyo menenuhi syarat untuk mengikuti sekolah tingkat Shodanco (komandan peleton). Namun, ia terkendala umurnya yang belum genap 18 tahun. Ia pun mengakali ijazahnya diubah kelahirannya menjadi satu tahun lebih tua. Dari tahun 1928 digantinya menjadi 1927.
Saat itu administrasi ijazah maupun raport sekolah belum terlalu ketat seperti saat ini. Usai lulus pendidikan Shodanco, ia mengawali karier di dunia kemiliteran. Ditempatkan sebagai komandan peleton di Batalyon 4 Karesidenan Malang, Jawa Timur. Namun tak disangka, Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945.
Dua hari kemudian, Republik Indonesia diproklamasikan di saat negara dalam keadaan kekosongan kekuasaan. Penjajah Jepang menyerah dan Tentara Sekutu (Belanda dan negara lainnya) tidak ada di Indonesia.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, tentara Kekaisaran Jepang memerintahkan membubarkan PETA. Pembubaran PETA terjadi setelah Panglima Tentara ke-16 di Jawa, Jenderal Nagano Yuichito mengucapkan perpisahan pada anggota kesatuan Jepang.
Ketika pemerintah Indonesia membentuk sebuah badan resmi untuk menjaga kedaulatan negara, anggota PETA diajak untuk bergabung. Pemerintah Indonesia membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Tentara PETA, Gyugun, Heiho, Kaigun, dan Kompeiho Heiho, dikumpulkan kembali untuk bergabung.
Gyugun selain di Jawa dibentuk pula di Sumatra. Gyugun setara dengan Cudanco, membentuk komandan kompi. Syarat pendidikan minimalnya sekolah menengah. Bedanya di Pulau Jawa, pangkatnya Kapten. Sedangkan di Sumatra, pangkatnya Letnan Satu (Lettu). Namun sama-sama untuk posisi komandan kompi.
Heiho adalah tentara pembantu. Sebuah pasukan yang terdiri dari masyarakat yang dibentuk tentaraJepang pada masa Perang Dunia (PD) II. Heiho syarat pendidikan minimalnya tamatan SD. Kaigun adalah pendidikan menjadi tentara laut Kekaisaran Jepang. Sedangkan Kompeiho adalah pendidikan polisi rahasia tentara Jepang.
Bergabung dengan BKR
Alumni pendidikan tentara PETA, Gyugun, bekas tentara Heiho, Kaigun, dan Kompeiho dikumpulkan kembali. Di situlah awalnya dibentuk BKR,kemudian menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia (TRI), dan akhirya berubah sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 1947.
Usai Jepang menyerah dibentuklah sekolah-sekolah militer untuk mencetak perwira Indonesia. Pada akhir Oktober-November 1945 dibentuk dua Akademi Militer (Akmil) Yogyakarta dan Tangerang, lama pendidikan dua sampai tiga tahun. Selai nitu diberbagai tempat lain, seperti Malang, Mojoagung, Salatiga, Tangerang, Palembang, Bukit Tinggi, Brastagi, dan Prapat, didirikan pula Sekolah Perwira Darurat untuk memenuhi kebutuhan TNI.
Setelah PETA dibubarkan, Wijoyo bergabung dengan BKR di Kota Surabaya. Lokasinya di bekas gedung Hogere Burger School (HBS), kini disebut Jalan Wijaya Kusuma. Inilah cikal bakal dari Resimen 1 Divisi VI di kemudian hari. Letda Wijoyo mendapatkan tugas di Staf Resimen.
Pada akhir 1946, selesai penarikan tentara Inggris keluar wilayah Indonesia. Namun, ternyata perang mempertahankan kemerdekaan melawan Agresi Belanda memanggil para lulusan PETA untuk berada di front terdepan. Kekuatan TRI di Jawa Timur terdiri atas tiga divisi, yaitu Divisi V Ronggolawe, Divisi VI Narotama, dan Divisi VII Untung Surapati.
Front dari Divisi VI Narotama menghadapi kekuatan utama tentara Belanda di Surabaya dan sekitarnya. Divisi ini terdiri dari tiga resimen. Resimen I di Kota Surabaya dan mendapatkan porsi terbesar tugas pertahanan.
***
Demikianlah selintas sejarah dan riwayat Pak Wijoyo Suyono. Pengamat militer dan politik Dr Selamat Ginting mengungkapkan bahwa, akhirnya pada usia 47 tahun, Wijoyo naik pangkat menjadi Letnan Jenderal TNI dengan tiga jabatan. Dimulai sebagai Panglima Kowilhan (Komando Wilayah Pertahanan) III meliputi Sulawesi dan Kalimantan (1975-1978). Kowilhan kini setara dengan Panglima Kogabwilhan. Jabatan keduanya adalah Panglima Kowilhan II meliputi Jawa, Nusa Tenggara, dan Timor Timur (1978-1980).
Sekaligus sebagai panglima kendali operasional terhadap operasi militer di Timor Timur. Total lima tahun Wijoyo menjadi Letjen TNI hingga usia 52 tahun. Akhirnya, ia pun mencapai pangkat puncak sebagai jenderal bintang empat. Jenderal TNI Wijoyo Suyono menjadi Kepala Staf Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) pada 1980-1982. Mendampingi Panglima Kopkamtib Laksamana TNI Sudomo.
(laporan kecil herdi sahrasad, jurnalis dan pengajar/peneliti Universitas Paramadina, dari berbagai sumber/Republika)
COMMENTS