KONFRONTASI- PASANGAN mantan Perdana Menteri Mohammad Natsir dan Puti Nur Nahar memiliki enam anak M Natsir –Siti Mukhlisa, Ida Natsir (sekarang di PP Darul Falah, Bogor), Abu Hanifah, Aisyah, Fauzi Natsir—semuanya adalah guru. Pak Natsir dan istrinya adalah seorang guru.
Putri Umi Nur Nahar, istri Pak Natsir adalah seorang bangsawan di Sumbar, masih keluarga dengan Sutan Syahrir. Umi bertemu Pak Natsir di Jong Islamiten Bond (JIB). Umi, dikenal cinta ilmu. Anak-anaknya diminya wajib membeli buku sebulan sekali –khususnya—buku-buku terbitan Balai Pustaka.
Sejak berkantor di DDII era 1970, Pak Natsir, setiap siang ia selalu ditelpon istrinya untuk makan di rumah. “Meja makan adalah sarana nilai-nilai penyampaian pendidikan, “ kata Pak Natsir. “Harus ada kebersamaan antara ayah, ibu dan anak di meja makan. Di situlah pendidikan paling berkesan.”
Pak Natsir dikenal selalu perhatian kepada anak-anak biologis bahkan anak ideologis (kadernya). Tidak sedikit para kadernya menjadi saksi, difasilitasi sebelum menikah, membeli jas sebelum pernikahan dll. Selain itu, menurut Aisyah, Pak Natsir juga menanggung banyak orang di rumahnya. “Ada 25 orang tinggal di rumah Pak Natsir di Jalan Cokroaminoto. Beliau menanggung sanak-saudaranya.
Ibu Aisyah bercerita, ayahnya memiliki tiga laci. Pertama, laci uang perjuangan. Kedua laci uang priabad M Natsir dan ketiga, laci untuk uang keluarga.
Meski Umi NurNahar memegang tiga kunci laci, kata Aisyah, tidak satupun ibunya membuka laci khusus uang perjuangan umat. “Meski para tokoh –seperti AR Baswedan dan beberapa pendiri bangsa– datang ke rumah, Umi tidak pernah menggunakan dan membua laci perjuangan,” kata Aisyah.
Kata Umi untuk menjadi guru yang baik, harus menjadi pembaca yang baik. Umi, meminta anak-anaknya membua perpustakaan pribadi di kamar masing-masing.
Bagi Pak Natsir, guru akan melahirkan kader pejuang. Tokoh-tokoh pergerakan dan pendiri bangsa, mayoritas adalah guru. Termamsuk Prawito Mangkusasmito, Jenderal Besar TNI Sudirman dan M Natsir sendiri adalah seorang guru.
Karena kecintaanya pada dunia pendidikan, Mohammad Natsir mendirikan Program Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung tahun 1932-1942. Lembaga ini tidak berlanjut akibat dibubarkan penjajah Jepang, karena dianggap lembaga partikelir (liar, red). Pendis dibangun untuk umat Islam, yang saat itu susah mendapatkan sekolah yang layak. Di Pendis, Nur Nahar mengajarkan bahasa Belanda. Saat di rumah, ketika membahas masalah pribadi dengan istrinya, Umi Nur Nahar, M Natsir menggunakan bahasa Belanda, agar tidak diketahui anak-anaknya. Suatu hari, putrinya bertanya, “Umi kan mengajar bahasa Belanda tiap hari, mengapa kami, anak-anaknya tidak diajar bahara Belanda?”
Jawaban Natsir cukup mengagetkan anak-anaknya, “Mengapa harus belajar Belanda, kita sudah merdeka,” kata Pak Natsir ditirukan Aisyah Natsir Rhim.M Natsir sendiri menguasai berbagai bahasa asing. Meski dikenal seorang tokoh sibuk, pernah beberapa kali menjadi menteri dan pernah menjababat wakil perdana menteri, ia selalu perhatian keluarga dan istrinya.
Bahkan meski Pak Natsir menjabat sebagai pejabat negara, Umi Nur Nahar tidak pernah menggunakan atau memanfaatkan jabatan suaminya untuk kepentingan pribadi. Umi, selalu berangkat dan pergi ke pasar hanya naik becak, kata Aisyah.*/Hadi Nur, founder Pusat Dokumentasi Islam Indonesia Tamadun
DALAM RIMBA
Keterlibatan Mohammad Natsir dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) melawan Komunsime dan otokrasi, membuatnya dan keluarga harus meninggalkan Jakarta, setelah memanasnya konflik dengan pemerintahan Soekarno.
Rombongan keluarga Natsir dan Burhanuddin Harahap tiba di Desa Muara Pauh, Sungai Batang Maninjau, menjelang Subuh, sekitar pukul 04.30 WIB. Ini merupakan tempat persinggahan ketujuh selama pengungsian di Sumatra Barat.
Mereka memang harus mengarungi belantara Pasaman, Sumbar. Mulai dari Lubuk Linggau, Sungai Dareh, Sawah Lunto, Padang Baru, Batu Sangkar, hingga Koto Tuo yang berada di Bukittinggi.
Kisah Soekarno-Natsir: Jejak Awal Kehangatan Dua Sahabat
Semua hal ini berawal pada suatu siang di bulan Januari 1958. Seorang kurir membawa surat yang ditulis Natsir untuk keluarganya di Jalan Jawa 28 -kini Jalan H.O.S Cokroaminoto-, Menteng, Jakarta Pusat.
Dirinya meminta kepada Nur Nahar dan anak-anak agar segera berangkat ke Padang, hal ini karena situasi sudah gawat. Waktu itu, situasi Jakarta tidak menentu. Pemerintah Bung Karno memaksakan paham Nasionalisme, Agama, Komunisme (Nasakom) kepada rakyat.
“Pamflet disebar ke rumah-rumah. Di daerah, banyak komandan tentara dan pemimpin sipil kecewa karena pembagian kekayaan hasil bumi yang timpang dengan Jakarta,” tulis Tempo dalam buku Guru Bangsa: Natsir.
Situasi tambah runyam, karena terjadinya Peristiwa Cikini pada 1957. Letupan granat tiba-tiba menggegerkan perayaan ulang tahun Perguruan Cikini, tempat anak-anak Bung Karno bersekolah.
Presiden Soekarno saat itu selamat, tetapi kelompok Komunis langsung menuduh pihak Masyumi bertanggung jawab atas Peristiwa Cikini. Akhirnya setelah melihat situasi Jakarta ketika itu, keluarga Natsir bertolak ke Padang.
Keluarga Natsir berangkat ke Padang dengan pesawat komersial via Palembang, karena hubungan udara Jakarta-Padang sudah terputus. Tiba di ibu kota Sumatra Selatan, keluarga Natsir dijemput dan ditampung keluarga pengikut Masyumi.
“Di sini dijamu aneka makanan khas Palembang, tekwan, pempek, dan sejenisnya, seperti liburan saja,” kata Siti Muchliesah alias Lies, anak tertua Natsir.
Perjalanan keluarga ini dilanjutkan ke Lubuk Linggau, masih di Sumsel dengan kereta api. ketika itu hari sudah gelap saat rombongan Jakarta tiba. Mereka menumpang bus ke Sungai Dareh lalu ke Sawahlunto.
Sejarah Hari Ini (3 April 1950) - Mosi Integral Natsir
Lies mengungkap di tempat tersebut Aba -panggilan Natsir dari anak-anaknya- sudah menjemput dengan sedan dan jip. Setelahnya mereka meluncur ke Padang Baru. Rumah adik Natsir, Etek Tjoen, sudah disiapkan.
Di kota ini, anak-anak Natsir kembali bersekolah, kecuali Lies, lantaran belum ada jurusan Sastra Inggris di Universitas Andalas. Namun pada suatu pagi, terdengar suara bom menggelegar.
“Ummi dan Lies melompat, menyusup ke kolong tempat tidur. Rupanya , studio Radio Republik Indonesia yang berjarak 100 meter dari rumah mereka di bom,”
Karena itulah, malam itu mereka angkat koper ke Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar. Dua malam di sana, mereka kemudian bergeser ke daerah pedalaman yang dianggap lebih aman hingga sampai ke Koto Tuo Bukittinggi.
Hidup di belantara
Agar menghindari serbuan pasukan dari Jakarta, pusat pemerintahan PRRI di pindahkan dari Kota Padang ke pedalaman. Agar Bukittinggi aman, sebuah jalan di Singgalang diputus. Pertempuran gerilya berlanjut.
Keluarga Natsir dan Burhanudin pindah ke Maninjau, mereka ditampung oleh aktivis Masyumi, Buya H Jusuf (paman Buya Hamka). Di sini, anak-anak Natsir biasa tinggal di daerah Menteng, resah lantaran tak ada kamar mandi dan jamban
Lies mengingat dirinya dan adik-adiknya yang sudah beranjak dewasa mesti memakai sarung seperti kemben bila mandi. “Rasanya seperti mau menangis,” ujarnya mengenang kondisi keluarganya saat itu.
Kesederhanaan Natsir, Menteri yang Jasnya Penuh Tambalan
Pagi harinya barulah sebuah rumah kosong disiapkan, Jamal, warga yang membantu keluarga Natsir, membersihkan rumah itu. Sumur yang lama tak dipakai dibersihkan, didesain menjadi kamar mandi, dirinya juga membuat WC berdinding di tepi danau.
Di Maninjau, adik-adik Lies kembali bersekolah. Setiap ba'da Maghrib, mereka belajar mengaji kepada Buya Jusuf. Lies belajar merenda kepada Ummi serta membuat abon dan rempeyek kepada Ibu Burhanuddin.
Tetapi setelah setahun, tempat persembunyian keluarga tokoh PRRI tercium tentara Jakarta. Mereka kemudian harus mencari tempat aman, rombongan keluarga tokoh PRRI ini lantas masuk ke hutan Pasaman.
“Mereka hanya membawa bekal pakaian secukupnya. Koper dititipkan di rumah warga di tepi hutan,” kenang Lies.
Agar sampai ke Rimba Pasaman, mereka harus menyeberangi Batang Masang, sungai lebar yang deras. Salah satu rombongan menemukan ide membuat jembatan dari kabel telepon. Petualangan ini masih melekat dari para rombongan.
Lalu tidak terasa sudah tiga setengah tahun keluarga Natsir meninggalkan Jakarta, Agustus 1961, melalui siaran radio, pemerintah pusat di Jakarta meminta para tokoh PRRI menyerah. Mereka dijanjikan amnesti dan abolisi.
Natsir bersama beberapa loyalisnya masih tetap bertahan, walau tentara PRRI sudah sudah keluar dari hutan. Disebutkan oleh Hasnah, putri Natsir, rombongan keluarganya memang kelompok PRRI terakhir yang menyerah di Sumatar. (Konf/Tempo/berbagai sumber/hidyaatulahcom)
COMMENTS