KONFRONTASI, BANDUNG- Kekuasaan ada batasnya, limit of
power, dan tidak bisa digunakan semaunya
sendiri, dan yang penting kita harus jadi obor
di lingkungan masyarakat kita dalam
memperjuangkan politik nilai-nilai. Untuk itu para aktivis pergerakan harus
mempertahankan demokrasi dan menjaga integritas dengan identitas masing-masing dalam
beragam perbedaan kepentingan dan kemajemukan sosial-kultural di Indonesia.
Demikian pandangan tokoh Malari 1974 Dokter
Hariman Siregar, politikus senior
Suripto, aktivis Radhar Tribaskoro dan
Alamsyah Saragih dalam peringatan mengenang sosok A. Rahman Tolleng di
Bandung, Minggu. Acara itu dihadiri istri almarhum Rahman Tolleng Cek Taty,
puteranya Gagak dan kalangan mahasiswa maupun aktivis pergerakan dan
intelektual dari Jakarta, Bandung dan kota-kota lainnya.
Hariman Siregar dan Suripto menyebut, A. Rahman Tolleng adalah eksponen Angkatan 1966, politikus dan pejuang nilai-nilai yang tak
lelah mendidik kaum muda dan mahasiswa dalam memperjuangkan keadilan,kemanusiaan,
demokrasi dan kebebasan. ''Saya memanggilnya Boss sewaktu dipenjara menyusul demonstrasi Malari 1974, sebutan yang lekat padanya sampai akhir hayat pejuang politik nilai-nilai ini,'' kata Hariman yang dikenal dekat dengan Rahman Tolleng.
Para analis mencatat bahwa Rahman Tolleng pernah mengenyam bangku
Institut Teknologi Bandung, Jurusan Apoteker (1955-1959), namun tidak tamat.
Sempat terdaftar sebagai salah seorang mahasiswa Universitas
Padjajaran,Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, tetapi juga tidak selesai. Pada
era Orde Lama, dia menjadi buronan politik karena menentang rezim Nasakom
Soekarno.Sesudah peristiwa Gerakan 30 September 1965, dia bergabung ke dalam
KAMI di Bandung. Mewakili Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Mahasiswa
Lokal, dia duduk sebagai salah seorang Ketua Presidium KAMI Pusat.
Pada pertengahan 1966, bersama Riandi dan Awan
Karmawan Burhan, dia memprakarsai penerbitan sekaligus memimpin mingguan Mahasiswa Indonesia. Roger K Paget,
salah seorang pengamat pers Indonesia ketika itu, sempat berkomentar,â€Å“berkat
mutu dan sikap radikalnya, Mahasiswa
Indonesia dengan cepat memiliki reputasi sebagai koran intelektual yang
banyak dibaca.
Ilham Bintang mencatat bahwa Pada 1974, Mahasiswa Indonesia diberangus rezim Orde Baru. Menjelang Pemilu 1971, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR, 1968-1971) ini, ikut mengambil bagian dalam proses transformasi Sekretariat Bersama Golongan Karya menjadi Golkar. Dia pun ditunjuk sebagai Wakil Pemimpin Redaksi, kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Harian Suara Karya, corong Golkar. Selain anggota DPR (1971-1974), salah satu anggota Dewan Pimpinan Pusat Golkar ini juga menjabat Sekretaris Jenderal DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
(kf)
COMMENTS