Kepada bang Tardji…. Sehat selalu di mana pun engkau berada.
Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Penyair Indonesia yang Abadi
Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Puisi Abadi
Dr herdi sahrasad, Sutardji Calzoum Bachri dan Remi Silado
Presiden Puisi Indonesia Sutardji Calzoum Bachri tidak pernah berhasil ”digulingkan” sejak ”berkuasa” tahun 1970-an. Ia kini malah tambah produktif dengan karya-karya yang berbeda dari sebelumnya. Mengapa ia bertahan?Ketika saya menyinggung tak ada penyair yang bisa ”menggulingkan” Presiden Puisi Sutardji Calzoum Bachri, para peserta seminar riuh. Para penyair yang hadir dalam perhelatan Tegal Mas Island International Poetry Festival, 24-26 Januari 2020 di Lampung saling toleh. Mungkin juga ada di antaranya yang tersengat atau sebaliknya cuek saja, menganggap julukan itu hanya main-main.
Tidak sungguh benar main-main. Dalam satu pertemuan para penyair di Semarang, Sutardji pernah risau terhadap julukan yang diberikan kepada Amir Hamzah sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Lalu masih ada Chairil Anwar yang dijuluki sebagai Pelopor Angkatan 45 dan Presiden Malioboro Umbu Landu Paranggi.
Kakekkakek & Bocahbocah
kakekkakek tidur di pantaidan bocahbocah main nyelinap di ketiak mereka masuk di kelengkang mereka menguak mimpi mereka dalam pasir dan tertawa terkekehkekeh
dan kakekkakek bangun menemukan diri tertawa terkekehkekeh
angin datang menyibak pasir dan kakekkakek menemukan tulangbelulang sendiri di dalam pasir lalu nangis dan tidur kembali dan bocahbocah tertawa terkekehkekehkehkehkeh
Sumber: O Amuk Kapak (1981)
Kakekkakek & Bocahbocah
kakekkakek tidur di pantaidan bocahbocah main nyelinap di ketiak mereka masuk di kelengkang mereka menguak mimpi mereka dalam pasir dan tertawa terkekehkekeh
dan kakekkakek bangun menemukan diri tertawa terkekehkekeh
angin datang menyibak pasir dan kakekkakek menemukan tulangbelulang sendiri di dalam pasir lalu nangis dan tidur kembali dan bocahbocah tertawa terkekehkekehkehkehkeh
sumber: Majalah Horisom 1970-an------------------------------------------------------------------------
Amuk
Ngiau! Kucing dalam darah dia mengeras
Lewat dia mengelir ngilu ngiau dia bergegas
Lewat dalam nortaku dalam rimba
Darahku dia besar dia bukan harima
Bukan singa bukan heina bukan leopar
Dia macam kucing bukan kucing
Tapi kucing ngiau dia lapar dia merambah
Rimba afrikaku dengan cakarnya dengan amuknya
Dia meraung dia mengerang jangan beri
Daging dia tak mau daging jesus jangan
Beri roti dia tak mau roti. ngiau
Ah
Rasa yang dalam
Datang Kau padaku!
Aku telah mengecup luka
Aku telah membelai aduhai
Aku telah tiarap harap
Aku telah mencium aum!
Aku telah dipukau au!
Aku telah meraba
Celah
Lubang
Pintu
Aku telah tinggalkan puri purapuraMu
Rasa yang dalam
Rasa dari segala risau sepi dari segala nabi tanya dari segala nyata sebab dari
Sebagai abad sungsang dari segala sampai duri dari segala rindu luka dari
Segala laku igau dari segala risau
----------------
-------------------------------------
Solitude
Yang paling mawar
Yang paling duri
Yang paling sayap
Yang paling bumi
Yang paling pisau
Yang paling risau
Yang paling nancap
Yang paling dekap
Samping yang paling
Kau
BAH
airmata ini mata air hari
airmata ini dukakalian kami
airmata ini mutu manikam hati
airmata ini puncak sedih tak sudahsudah
airmata ini intidarah berubah
airmata ini buah segala bah
airmata ini buah hati tumpah
airmata ini guratan sejarah
airmata ini luap doa duafah
airmata ini matamata nurani
airmata ini tanahair kami
2008
Doa
untuk Muin Akhmad
sanggup nuh melaut
digejolak samudera perih ini?
apa tongkat musa mampu
menyibak lautan bencana ini
bukan domba bukan ternak
sungguh para ismail bayi
kanak mudamudi
tuatui
tenggelam
ya Tuhan
kuatkan selamatkan bangsaku
dari derita beberapa nabi
2005-2008
Wahai Pemuda Mana Telurmu?
Apa gunanya merdeka
Kalau tak bertelur
Apa guna bebas
Kalau tak menetas
Wahai bangsaku
Wahai pemuda mana telurmu?
Kepompong menetaskan kupu kupu
Kuntum jadi bunga
Putik jadi buah
Buah menyimpan biji
Menyimpan mimpi
Menyimpan pohon dan bunga-bunga
Uap terbang
Menetas awan
Mimpi jadi,
Sungai pun jadi
Menetas jadi
Hakekat lautan
Setelah kupikir pikir
Manusia ternyata
Burung berpikir
Setelah kurenungrenung
Manusia ternyata burung yang merenung
Setelah bertafakur
Tahulah aku manusia harus bertelur
Dari burung keluar telur
Lantas telur menjadi burung
Ayah menciptakan anak
Anak melahirkan ayah
Ayo Garuda
Ayo para pemuda
Menetaslah
Lahirkan lagi bapak
Bangsa ini
Seperti dulu
Para pemuda
Bertelur emas
Menetaskan kalian¹
Dalam sumpah mereka
Jakarta, 7 Agustus 2010
¹ sebelumnya kau, diganti oleh penyair menjadi kalian.
Tanah Air Mata
Tanah airmata tanah tumpah darahku
Mata air airmata kami
Air mata tanah air kami
Di sinilah kami berdiri
Menyanyikan airmata kami
Dibalik gembur subur tanahmu
Kami simpan perih kami
Dibalik etalase megah gedung-gedungmu
Kami coba sembunyikan derita kami
Kami coba simpan nestapa
Kami coba kuburkan duka lara
Tapi perih tak bisa sembunyi
Ia merebak kemana-mana
Bumi memang tak sebatas pandang
Dan udara luas menunggu
Namun kalian takkan bisa menyingkir
Kemana pun melangkah
Kalian pijak air mata kami
Kemana pun terbang
Kalian hinggap di air mata kami
Kemana pun berlayar
Kalian arungi air mata kami
Kalian sudah terkepung
Takkan bisa mengelak
Takkan bisa kemana pergi
Menyerahlah pada kedalaman air mata kami
2002
Wahai bangsaku. Wahai pemuda mana telurmu?
Kami Tahu Asal Jadi Kau
asal sebab kembali sebab
asal tanah pulang ketanah
asal darah ke mula darah
asal tahu muasal tahu
kami tahu asal jadi kau
kau jadi dari duka kami
yang kau jadikan kudakau
kau jadi dari hati kami
yang kau niatkan sukasukakau
kau jadi dari suara kami
yang kau nyanyikan iramakau
kau jadi dari harihari kami
yang kau hurahurakan semaukau
kau jadi dari mufakat kami
yang kau khianati dengan muslihatkau
asal sebab ke bab sebab
asal tanah ke zarah tanah
asal perih ke patah janji
asal jadi ke balik jadi
asal abad ke mula hari
asal duka ke padam caya
kami tahu asal jadi kau
kau jadi dari ayat kami
yang kau sampaikan tafsirankau
kau jadi dari bahasa kami
yang kau hajatkan maknakau
kau jadi dari kuasa kami
yang kau genggam semaukau
kau jadi dari angan kami
yang kau lantas angankau
kau jadi dari lagu kami
yang kau jadikan gulagulakau
sehebat hebat raja muslihat
takkan dapat ngalahkan rakjat mukjizat
airmata kami jadikan lautan
membenam engkau sedalamdalam
ya kami jadikan tak
tak lagi kuasa yang kau kenyam
diam jadi gempita serapah
mengenyah engkau ke balik zaman
anak menjadi tongkat menghalau engkau kekelam lautan
pulanglah kau ke asal pulang
pulang ke asal kau
pulang ke hunian bunian
pulang ke reban jembalang
kembali ke telur setan!
tak lagi lugu kami netaskan kau
tak
tak hendak kuasa kami netaskan kau lagi
tak
tak siang tak malam kami tak erami kau
tak
tak undangundang kami mau diselangkangi lagi
tak
takkan lengah anakanak kami
tak
guru kalbu kitab sejarah
ngajarkan mereka takkan netaskan kau
tak
wahai musang berbulu amanah
wahai ular berkulit nalar
wahai lintah berbulu pemerintah
wahai taring bersungging senyum
wahai zalim berucap salam
puah!
masuk engkau ke telur setan!
1998
Jembatan
sedalamdalam sajak takkan mampu menampung airmata bangsa.
Katakata telah lama terperangkap dalam basa basi dalam teduh pakewuh
dalam isyarat dan kilah tanpa makna
maka lebih baik aku membaca wajah orang berjuta
wajah orang-orang yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota
wajah yang tergusur
wajah yang ditilang malang
wajah para pemuda yang matanya
letih menyimak daftar lowongan kerja
wajah yang tercabikcabik dalam
pengap pabrik
wajah yang disapusapu sepatu
wajah legam para pemulung
yang memungut remahremah pembangunan
wajah yang hanya mampu jadi
sekedar penonton etalase indah
diberbagai plaza
wajah yang diamdiam menjerit
melengking melolong mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu
tapi wahai saudara satu bendera
kenapa kini ada sesuatu yang terasa jauh diantara kita?
sementara jalanjalan raya mekar dimanamana menghubungkan kota-kota, jembatanjembatan tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
diantara kita?
di lembah-lembah kusam pada pucuk tulang kersang dan otot linu
mengerang mereka pancangkan koyak moyak bendera hati di pijak
ketidakpedulian pada saudara.
gerimis tak mampu menguncupkan kibarnya.
lalu tanpa tangis mereka menyanyi
padamu negeri
airmata kami
1998
Belajar Membaca
kakiku luka
luka kakiku
kakikau lukakah
lukakah kakikau
kalau kakikau luka
lukakukah kakikau
kakiku luka
lukakaukah kakiku
kalau lukaku lukakau
kakiku kakikaukah
kakikaukah kakiku
kakiku luka kaku
kalau lukaku lukakau
lukakakukakiku lukakakukakikaukah
lukakakukakikaukah lukakakukakiku
1979
David Copperfield, Realities '90
aku dipukau David Copperfield¹
aku dicekam Houdini
aku terkagum sama pesulap kakap
aku terperangah melihat pesulap
ngubah derita jadi gedung gemerlap
aku tercengang menyaksikan
luka jadi waduk raksasa
aku terkesimak menyimak mereka
menyulap suara
jadi seperti suara kita
aku terkesiap pada tongkat ajaibnya
dari jarak jauh bisa
mengetuk kepala siapa saja
tak habis heran aku
sepasang mata pesulap sihir
dapat mengawasi kita
dimanamana
aku heran nonton pesulap
mampu mengkristalkan airmata kita
jadi etalase indah
di berbagai plaza
aku kagum pesulap
yang bikin rimba
jadi emas
membuat hutan
jadi pasir
Allah
inilah tardji
terperangah takjub
heran daif
terasing tumpul dan takut
di negeri sulapan.
Penyair Indonesia datang dan pergi, namun yang bertahan dengan segala mahkota “kenestapaannya” sebagai penyair sejati, dapat dihitung dengan jari. Satu diantara yang sedikit dan terus memberikan arti, karena kemampuan berfikir, bersyair, dan bertafakurnya terus diasah dan diuji waktu, adalah Sutardji Calzoum Bachri.
Usianya sudah tidak paruh baya lagi, apalagi muda. Tapi elan vitalnya menulis syair puisi seperti menderas tiada henti. Mengalahkan penyair penyair muda, yang sibuk gonta-ganti status di media sosialnya, sibuk memacak foto dirinya sendiri. Alih-alih menjadi penyambung lidah dan kepapaan orang-orang kecil yang dipinggirkan oleh sistem dan keadaan, yang seperti tiada henti terus secara maraton dipunggungi nasib baiknya oleh kekuasaan.
Alih-alih melahirkan syair yang membesarkan hati orang kecil, para penyair muda yang yang belum katam alif ba ta kehidupan ini, terus saja bersajak tentang “anggur dan rembulan”. Njelehi.
Tapi tidak untuk bang Tarji. Dia bisa menulis sajak pamflet, juga cinta, dengan sama baiknya. Mungkin lebih baik (?), sebagaimana sajak pamflet dan cintanya mas Willy.
Cecap dan simaklah sajak berjudul Jembatan karya bang Tarji ini:
//Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan-jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-moyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu
mengucapkan kibarnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami//
Mungkin sajak ini tidak seikonik Sajak Sebatang Lisong-nya mas Willy. Tapi kedalamannya, tetap menenggelamkan.
Bang Tarji — demikian kami menyapanya saat masih acap bersilangan nasib dengannya pada awal tahun 2000-an di TIM– bahkan berkali-kali mengatakan, “Terserah kau mau mengutip apa tentang pendapat saya. Aku percaya saja, ” katanya. Waktu itu kami bersirobok nasib dan hendak mewawancarainya, tapi karena satu dan lain hal, dia musti segera berlalu.
Yang pasti bagi bang Tarji, “Pertama-tama, seorang penyair bercakap-cakap dengan kata-kata, bukan dengan pembaca. Ketika percakapan itu selesai, barulah kata-kata itu bercakap-cakap dengan pembacanya.”
Demikianlah ia merumuskan kiat penulisan karya puisinya. Katanya lagi, diksi akan menuntunnya menemukan makna. Alih-alih sebaliknya. Makanya jangan heran jika dia membebaskan makna dari kata. Kata menjadi merdeka dari beban makna. Tapi begitu kata melaras dengan makna, dia langsung menenggelamkan kita dengan kedalamannya.
Karena, bagi bang Tarji, “Kata-kata, meski telah memiliki makna yang mapan, di tangan para penyair, bukan tidak mungkin ia bergeser (pemaknaannya),” katanya.
Pot ( 1970 )
Pot apa pot itu pot kaukah pot aku
Pot pot pot
Yang jawab pot pot pot pot kaukah pot itu
Yang jawab pot pot pot pot kaukah pot aku
Pot pot pot
Potapa potitu potkaukah potaku ?
Belajar Membaca
Kakiku luka
Luka kakiku
Kakikau lukakah
Lukakah kakikau
Kalau kakikau luka
Kakiku luka
Lukakaukah kakiku
Kalau lukaku lukakau
Kakiku kakikaukah
Kakikaukah kakiku
Kakiku luka kaku
Kalau lukaku lukakau
Lukakakukakiku lukakakukakikaukah
Lukakakukakikaukah lukakakukakiku
Sepisaupi
Sepisau luka sepisau duri
Sepikul dosa sepukau sepi
Sepisau duka serisau diri
Sepisau sepi sepisau nyanyi
Sepisaupa sepisaupi
Sepisapanya sepikau sepi
Sepisaupa sepisaupi
Sepikul diri keranjang diri
Sepisaupa sepisaupi
Sepisaupa sepisaupi
Sepisaupa sepisaupi
Sampai pisauNya ke dalam nyanyi
Tersebab penyair, dapat membawa lidah kita ke mana-mana karena persoalan selera. “Hari ini kita suka Bakso, esok lusa belum tentu. Dulu kita menyukai masakan ibu di kampung, tetapi suatu hari karena lama di Eropa, sudah tidak suka lagi”.
Dalam bahasa lain, penyair dan bisa jadi mistikus kelahiran Rengat Indragiri Hulu, 24 Juni 1941, pernah menubuatkan, jika “Kata juga selalu membuka kemungkinan terhadap tafsir yang berbeda, yang sangat dipengaruhi oleh biografi seseorang”.
Kata ‘mawar’, imbuh dia, tak pernah diresepsi secara sama oleh beberapa orang. Ia bisa berarti traumatik, bisa pula nostalgik. Diksi “mawar” bagi seorang gadis yang dicium paksa oleh pacarnya di sebuah taman mawar dan dia berusaha memberontak, malih rasa maknanya menjadi sangat traumatik.
Berbeda halnya jika seorang gadis lainnya diperlakukan secara lembut oleh pacarnya, dia akan mengenangkan kata ‘mawar’ sebagai sesuatu yang nostalgik. Demikian halnya dengan diksi lainnya. Oleh karenanya, bang Tarji lebih suka memerdekakan kata dari makna. Semerdeka merdekanya. Bebas.
Maka itu, kenangkanlah, wahai para hulubalang nagari. Jika kata saja dibebaskan oleh bang Tarji, presiden penyair abadi, dari beban maknawi, mosok tuan dan puan mau mengebiri kebebasan makna atas nama apa saja. Bahkan demi langgengnya kuasa. Ngisin-ngisini.
Sehat terus bang Tarji. Angkat kopimu, biar panjang usia dan pahalamu. Tertawakan saja kekuasaan yang terus melakukan sirkus makna. Memanipulasi kata-kata atas nama apa saja. Juga demi kelanggengan semunya. Tabik.
(berbagai sumber: Putu Fajar Arcana/Alif id/SI/HS/Kompas/Konfrontasi)
COMMENTS