Oleh Herdi Sahrasad, Dosen Sekolah Pasca Sarjana Universitas Paramadina,anggota INDEMO dan aktivis senior Gerakan 1998
Di
bulan April-Mei 1989, anak muda pinggiran dan proletar itu diantar mahasiswa Doktoral
(PhD) Azyumardi Azra dengan subway menuju Columbia University, New
York, kampus Bang Azra nan megah dan gagah. Dia adalah Herdi Sahrasad (nama asli
Herdi Nurwanto), aktivis HMI dan jurnalis/peneliti yang hidup ala kadarnya,
yang melihat pendidikan sebagai pembebasan.
Penulis (Herdi muda belia) dipotret Bang Azra di Columbia University NY, 1989
GAMBAR KENANGAN DI AS: Tampak dari kiri ke kanan Dr Todung Mulya Lubis, Prof Azyumardi Azra, begawan ekonomi DR Rizal Ramli dan Prof Din Syamsuddin dll berpose bareng di Boston, USA semasa mereka masih mahasiswa pasca sarjana di AS.
(Gambar di atas: Penulis berbaju biru bersama keluarga Bang Nazar Nasution, Ir Arwa Ina Nasution MM, MA, Kak Ida Nasution dan Bang Imron C, dan Ichank Nasution)
Nyaris
semua sahabat,kader, mahasiswa, handai taulan dan rekan-rekan sejawat Prof
Azyumardi Azra memanggil beliau (Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
sebagai ‘’Kak Edy’’ atau Bang’’Edy’’. Dan mungkin hanya saya yang memanggil ‘’mentor
saya, guru saya, sahabat kita dan senior kita itu’’ dengan panggilan ‘’Bang Azra’’.
Ketika
beliau dipilih sebagai Ketua Dewan Pers, kami berkomunikasi via WA dan saya
ucapkan selamat atas tugas baru yang penting dan relative berat itu.
Pekan
ini, begitu mendengar Bang Azra di media
bahwa dalam penerbangan ke Kuala Lumpur beliau ‘’sesak nafas’’, saya sangat
khawatir. Dua minggu sebelumnya saya masih WA-WA-an pribadi dengan Bang Azra.
Beliau sering mengirimkan esainya di Kompas,
Republika, Tempo atau media lain atau jurnal, untuk kami baca guna ‘’mengisi
baterei’’.
Pertemuan
pertama saya dengan Bang Azra terjadi di New York bulan Ramadhan tahun 1989 ketika
saya terbang ke sana sebagai jurnalis/peneliti muda dan aktivis HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam).
Azyumardi Azra bersama Syafi'i Anwar PhD dan Prof Nurcholish Madjid pada acara Diskusi Pemikiran Nurcholish Madjid tentang pemahaman Islam di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, 1993.
Pada waktu itu, via bantuan Bang Jimly Asshidiqie (Guru Besar FH-UI & Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi) dan dengan sepucuk surat dari Bapak HM Yunan Nasution (mantan anggota Konstituante dari Masyumi), saya diurus/diopeni oleh putera kesayangannya yakni diplomat karir di KBRI New York yaitu Bang Nazarudin Nasution SH MA (Mantan Dubes RI untuk Kamboja dan alumnus FH-UI dan pasca sarjana St. John’s University- New York) dan Kak Ir. Ida Ismail Nasution MBA,sang istri (yang saya anggap sebagai Mbakyu saya, seorang Insinyur lulusan IPB dan meraih MBA di New York Institute of Technology, yang pintar sekali dan paling ‘’tegas’’ memarahi saya kalau saya mencuat malasnya/badungnya). Kak Ida Nasution tentu gak pernah membayangkan, kelak suatu hari saya (anak bandel) dari keluarga asisten wedana yang berkarakter Soekarnois/PNI dan cucu kyai NU level kampung di kawasan Bagelen-Kedu itu, akan jadi Scholar dengan gelar Doktor (alias PhD) kajian interdisipliner Islamic Studies (Ekonomi-Politik, Sosiologi,Sejarah dan Studi Islam), dan menjadi ‘’peneliti tamu’’ atau semacam Visiting Research Associate’’ dengan pangkat ‘’profesor’’ di Department of Political Science, University of California, Berkeley,USA, pada 2012. Sejauh ini saya sudah menulis 12 artikel di jurnal internasional berindeks Scopus dan Thompson, puluhan buku dan ratusan artikel di koran/majalah dan tidak pernah ngurus jabatan akademik apapun. Tetaplah ‘’daku’’ inteligensia bebas, ''bohemian''.
herdi sahrasad, penulis
Bang Nazar Nasution (mantan Sekjen PB-HMI era Cak
Nurcholish Madjid) dan Kak Ida (yang tahu saya tipikal anak muda badung dan mbeling)
meminta sang adik yuniornya, Bang Azra untuk mengajak saya ke kampus Columbia
karena ada surat dari Direktur Harriman Institute for Soviet/Russian Studies dan waktu itu saya studi sebagai ahli
Rusia/Slavia dengan segala
keterbatasanku, untuk LSM-ku dan koranku ‘’Bisnis
Indonesia’’ pimpinan Pak Amir Daud/Pak Lukman Setiawan.
Bang
Azra sempat memotretku di Columbia University,AS. Namun potretku bersamanya
malah hilang entah dimana. Saya juga bertemu Dr Hadi Soesatro (CSIS) yang
menjadi profesor di Columbia University itu, namun ketika dia bicara dengan ‘’Bos’’
Harriman Institute untuk mengajukanku dan menerimaku sebagai research affiliate/associate,
ternyata Bos Institute studi Soviet/Rusia di Columbia yang berdarah Yahudi itu sangat
angkuh/tengil dan menolak program saya, lalu Dr Hadi Soesastro menyarankan saya
untuk ke University of Illinois Urbana (Centre for Russian & East European
Studies) dan Indiana University Bloomington (Russian and East European Institute)
yang sudah menerima saya sebagai ‘’Visiting
Researcher’’ (Fellow) untuk autumn-summer 1989. Akhirnya saya harus meninggalkan
rumah Bang Nazar/Mbak Ida di Regopark, Queen
New York menuju Indiana University bertamu di lembaga Prof Darel Hammer (Indianapolis-Bloomington)
dan mengontak Prof Mariana Tax Choldin
di University of Illinois Urbana Champaign untuk memulai riset dan studi bebas
saya by my way, sebab saya orang muda
belia yang ogah diatur-atur dan lebih memerlukan bimbingan secukupnya.
Saya akhirnya memilih Indiana, dan berdialog dengan telepon ke Prof Mariana di Illinois karena alasan akomodasi dan kenyamanan di kampus Bloomington itu. Duitku pun cekak, dan Prof Mariana tertawa-pingkal senang serta memberi kebebasan untukku memilih ke Illinois Ok, ke Indiana pun Ok karena dia juga profesor tamu di situ. Hidup adalah pilihan. Di luar kampus, mulailah pengembaraan saya melihat kapitalisme dan masyarakat bebas di Amerika di luar New York. Prof Mariana berpesan kapan saja saya bisa singgah lagi di University of Illinois untuk waktu enam bulan sampai setahun sebagai Fellow atau peneliti tamu. Suratnya kusimpan sampai hari ini.
Dalam perkembangannya, pada tahun 1994 saya kembali ke AS, menjadi visiting Fellow di Cornell University, Ithaca, AS atas kebaikan Prof Benedict Anderson (1994) dan ke Department of Political Science, University of California Berkeley,AS. 2012 atas kebaikan Prof Steven Fish dan ke Southeast Centre, Henry M. Jackson School of International Studies-University of Washington Seattle atas kebaikan Prof Laurie Sears, Loren Ryter PhD dan Arlene Lev (istri mendiang Prof Daniel Lev ).
Demikianlah, sejak 2005 sampai kini, dengan suka-dukanya, saya konsentrasi sebagai peneliti senior/akademisi/dosen senior di Universitas Paramadina, dan menggulati
Sastra-Budaya, Demokrasi, Studi Islam, Global Terrorism, kajian Asia
Tenggara, Timur Tengah dan Rusia/Slavia serta sejarah dan Politik dan terus
menulis sebagai hobi.
Sebelum
pandemo Covid, Bang Azra sempat bertemu saya di UIN Jakarta, kampusnya dalam
konferensi internasional dimana saya diperkenalkan oleh beliau sebagai kadernya
dan saya bilang ke komunitas civitas academica UIN Jakarta bahwa Bang Azra adalah
mentor saya sejak muda setelah lulus bergelar Drs dari Sastra Rusia UNPAD selain Bang Fachry Ali MA yang memang mendorongku
belajar dengan cara ‘’by my way’’ karena saya menganut falsafah ‘’urip kuwi sak tekane wae dan ngelmu itu lelakone kanti laku’’ seperti
pesan ayah-ibuku dan eyangku di kampung Bagelen, Kedu.
.
Sebelum
covid datang, saya sempat meminta Bang Azra (dan Prof Ahmad Fedyani Saefudin
PhD) menjadi panelis dalam seminar di CSS
(Center for Strategis Studies)–UI pimpinan Sigid Edi Sutomo dimana saya dan Al
Chaidar selama sekian tahun menjadi Senior Fellow kajian terorisme. Seminar di UI Depok itu
bagus/lancar dan makin mendekatkan kami untuk terus menggulati radikalisme dan
terorisme global sebagai suatu fenomena yang tak boleh dianggap sepele dalam
konteks ramifikasi dari kajian Islam dan Politik.
Bang
Azra mendengarkan keluhan saya sebagai dosen kampus Paramadina (sebelumnya dosen Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta) soal birokratisasi dan politisasi perguruan
tinggi era Jokowi dan SBY yang membuat kemunduran pendidikan tinggi kita, dan
Bang Azra pun mengaku kecewa dan prihatin atas perlakuan kekuasaan/birokrasi
dan politik Jokowi dan SBY pada pendidikan tinggi kita yang malah makin merosot
dengan adanya Serdos dll, namun terpuruk dalam bidang riset sains dan teknologi
akibat politik kekuasaan/birokratisasi yang busuk dan merusak. Culas sekali
kuasa rezim-rezim reformasi pasca Presiden Habibie, Gus Dur dan Megawati pada pendidikan
tinggi kita dimana kebebasan akademik/kebebasan
kreatif dipasung/dikangkangi oleh birokrasi dan politik Oligarki.
Sekian
bulan lalu beliau menyampaikan pula kecenderungan mutakhir Islamisme yang
menurutnya Islamisme tidak menolong bagi terciptanya pemahaman lebih baik
terhadap Islam, dan oleh sebagian ahli dianggap semacam padanan bagi istilah
lain yakni `Islamo-fascism' atau `fundamentalisme'.
Prof Azra
Menurut
Bang Azra, sebutan Islamisme dengan makna dan konotasi yang tercakup di
dalamnya cenderung meningkatkan ketegangan di antara masyarakat Barat dan kaum
Muslimin.
Menurut
Bang Azra pada kami, Islamisme masih perlu penjelasan lebih lanjut karena umumnya,
Islamisme tetap dipahami secara pejoratif; yakni ideologi dengan praksis
kekerasan yang dipegangi dan diimplementasikan individu dan kelompok Muslim
tertentu dalam upaya mencapai agenda- agenda mereka, seperti pembentukan
`negara Islam' dan penegakan syari'ah.
Dengan teman teman di kampus Indiana, Bloomington 1989
Diajak Sidharta Utama Ph.D CA CFA UI, mampir ke Ohio selatan, 1989
Bang
Azra gigih memperjuangkan Islam Wasatiyah, Islam Jalan Tengah, Moderasi Islam
atau Islam rahmatan lil’alamin atau Islam Asia Tenggara/Islam Melayu yang dirintis para ulama seniornya yakni Prof Nurcholish Madjid, Ahmad Syafii Maarif, KH Abdurrahman Wahid dll. Saya ingin
menutup memori ini dengan pesan beliau bahwa para intelektual kita yang di
dalam atau di luar kekuasaan tak boleh menyerah dan tak boleh berhenti menyampaikan
kritik/koreksi tajam ( kalau perlu protes) demi kebaikan dan keadilan/kemanusiaan
serta kemaslahatan rakyat, demi kepentingan nasional negeri kita sampai hari
akhir. Selamat jalan Bang Azra,
istirahlah di rumah keabadian.
COMMENTS