Menteri BUMN, Erick Thohir menyebutkan, proyek dengan nilai investasi jumbo atau senilai Rp 30-an triliunan ini akan memberikan penghematan cadangan debisa hingga mencapai Rp 9,7 triliun per tahun dan mampu menyerap 10 ribu tenaga kerja.
"Gasifikasi batu bara memberikan nilai tambah langsung pada perekonomian nasional secara makro karena sejalan dengan arahan presiden untuk mengurangi ketergantungan pada produk impor, juga transformasi ke ekonomi hijau serta energi baru dan terbarukan," kata Erick Thohir saat mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan Groundbreaking proyek gasifikasi batu bara di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Senin (24/1/2022).
Dengan penerapan teknologi ini, selain ketergantungan terhadap BBM dapat dikurangi, dan secara tidak langsung akan mengurangi beban subsidi, akibat tingginya harga minyak dunia, juga akan meningkatkan nilai tambah batubara, menambah devisa dan membuka kesempatan kerja.
Cadangan batubara di Indonesia diperkirakan mencapai 91 miliar ton, dengan tingkat produksi berkisar 200-300 juta ton pertahun, maka umur tambang akan dapat mencapai 100 tahun, hal ini cukup aman untuk keberlanjutan industri pengguna batubara, selain itu juga lebih ekonomis.
Salah satu kisah sukses pembuatan bahan bakar dari proses gasifikasi batubara adalah South African Coal Oil and Gas Corporation atau yang dikenal dengan Sasol di Afrika Selatan, yang saat ini memproduksi gas sintetik sebesar 55 juta Nm3/hari dengan menggunakan penggas Lurgi, dan memproduksi minyak sintetik sebanyak 150 ribu barel per hari melalui sintesis Fischer-Tropsch.
Saat ini, Sasol mempekerjakan 170 ribu karyawan, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang merupakan 2% tenaga kerja sektor formal di Afsel. Selain itu, Sasol juga menyumbang 4% GDP atau sekitar US$ 7 milyar, serta menyuplai 40% kebutuhan BBM dalam negeri Afsel (28% dari batubara)
Mengenai dampak polusi yang dihasilkan dari proses ini, menurut Kepala Badan penelitian dan Pengembangan ESDM, Nenny Sri Utami , emisi udara yang dihasilkan masih dibawah ambang batas yang ditetapkan sedangkan limbah cair (ter) dan abu masih dalam proses penelitian.
Gasifikasi Batubara di Tanjung Enim Pangkas Impor LPG Hingga 1 Juta Ton per Tahun
Proyek gasifikasi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME) di Tanjung Enim, Sumatera Selatan dipastikan akan dilanjutkan untuk mengurangi ketergantungan pada impor Liquified Petroleum Gas (LPG) dan subsidi LPG pemerintah. Kepastian tersebut didapat melalui penandatangan Amandemen Perjanjian Kerjasama dan Perjanjian Pengolahan DME antara PT Pertamina (Persero), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan Air Products & Chemical Inc (APCI), secara virtual di Jakarta dan Los Angeles, Amerika Serikat.
Proyek Strategis Nasional ini akan dilakukan di Tanjung Enim selama 20 tahun, dengan mendatangkan investasi asing dari APCI sebesar USD 2,1 miliar atau setara Rp 30 Triliun. Dengan utilisasi 6 juta ton batu bara per tahun, proyek ini dapat menghasilkan 1,4 juta DME per tahun untuk mengurangi impor LPG 1 juta ton per tahun sehingga dapat memperbaiki neraca perdagangan. Selain itu, proyek ini diharapkan dapat memberikan multiplier effect antara lain menarik investasi asing lainnya, dan melalui penggunaan porsi TKDN di dalam proyek juga dapat memberdayakan industri nasional dengan penyerapan tenaga kerja lokal.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan Pemerintah mendukung penuh proyek gasifikasi tersebut karena dapat mengurangi ketergantungan pada impor, juga menghemat cadangan devisa, dan menyerap tenaga kerja.
"(Kerja sama) ini merupakan wujud dari eratnya hubungan ekonomi antara Indonesia dan Amerika Serikat. Gasifikasi batu bara memiliki nilai tambah langsung pada perekonomian nasional secara makro, karena sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk mengurangi ketergantungan pada produk impor, juga transformasi ke green economy serta energi baru dan terbarukan. Kerja sama gasifikasi batu bara bisa menghemat cadangan devisa hingga 9,7 triliun rupiah per tahun dan menyerap 10 ribu tenaga kerja," tutur Erick, Selasa (11/5).
Pada kesempatan tersebut, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, energi transisi, green energy, dan circular energy saat ini menjadi prioritas, sejalan dengan Grand Strategi Energi Nasional, sesuai arahan Presiden Joko Widodo.
"Pertamina sebagai BUMN telah memformulasikan kembali strategi yang sejalan dengan arahan Pemerintah dalam mencapai penurunan 41% carbon emission di tahun 2030," ujarnya.
Selain itu, Nicke menuturkan Pertamina juga memahami bahwa pengembangan dan produksi DME ini berkaitan dengan isu lingkungan. Karenanya, sesuai arahan Pemerintah, Pertamina akan menjalankan proyek DME secara paralel dengan proyek Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) sehingga isu mengenai emisi karbon dapat ditekan hingga mencapai 45%.
Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk (PTBA) Suryo Eko Hadianto menambahkan, para pihak yang terlibat dalam penandatanganan pada hari ini akan bekerja keras untuk segera merealisasikan pembangunan proyek.
"Kami percaya penandatanganan pada hari ini merupakan lompatan signifikan dalam perkembangan kerjasama proyek, dan kami optimis proyek ini dapat dijalankan tepat waktu," ujarnya.
PTBA juga menegaskan kerjasama ini menjadi portofolio baru bagi perusahaan yang tidak lagi sekadar menjual batu bara, tetapi juga mulai masuk ke produk-produk hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah.
Amandemen Perjanjian Kerjasama dan Perjanjian Pengolahan DME antara Pertamina, PTBA dengan APCI yang berlangsung di Los Angeles, Amerika Serikat dan Jakarta, Indonesia ditandatangani oleh Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, Direktur Utama PTBA Suryo Eko Hadianto, Direktur Pengembangan Usaha PTBA Fuad I. Z. Fachroeddin, dan President & CEO APCI Seifi Ghasemi, yang disaksikan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.
Proyek Gasifikasi Batubara Perlu Insentif
KONVERSI batubara menjadi syngas yang merupakan bahan baku untuk diproses lebih lanjut menjadi dimethyl ether (DME) sebagai bahan bakar, urea sebagai pupuk, dan polypropylene sebagai bahan baku plastik, dinilai perlu mendapatkan dukungan insentif fiskal dan non fiskal. Dalam hal ini, batubara akan diubah melalui teknologi gasifikasi menjadi produk akhir yang memiliki nilai jual lebih tinggi. u201cHingga saat ini dirasakan masih belum ekonomis. Oleh karena itu perlu insentif fiskal dan dukungan, baik dari sisi perizinan agar bisa menarik investasi,u201d kata Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertam-bangan Batubara Indonesia (APBI), kepada Dunia Energi Selasa (12/2).
PT Bukit Asam Tbk (PTBA) telah menanda-tangani Head Of Agreement (HoA) hilirisasi batubara dengan PT Pertamina (Persero), PT Pupuk Indonesia (Persero), dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, akhir tahun lalu. Penandatanganan tersebut akan ditindak-lanjuti dengan pembangunan pabrik peng-olahan gasifikasi batubara yang direncanakan mulai beroperasi pada November 2022.
Nantinya, pabrik pengolahan gasifikasi batubara akan dibangun di Bukit Asam Coal Based Industrial Estate (BACBIE) yang berada di mulut tambang batubara Tanjung Enim, Sumatera Selatan. BACBIE akan berada pada satu lokasi yang sama dengan PLTU Mulut Tambang Sumsel 8.
Diharapkan produksi dapat memenuhi kebutuhan pasar sebesar 500 ribu ton urea per tahun, 400 ribu ton DME per tahun dan 450 ribu ton polypropylene per tahun.
Dengan target pemenuhan kebutuhan sebesar itu, diperkirakan kebutuhan batubara sebagai bahan baku sebesar sembilan juta ton per tahun, termasuk untuk mendukung kebutuhan batubara bagi pembangkit listriknya.
Abadi Purnomo, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), mengatakan apabila proyek hilirisasi batubara berjalan sesuai rencana maka diharapkan dapat mengurangi impor liquified natural gas (LPG/elpiji). Melalui teknologi gasifikasi batubara diolah menjadi syngas untuk kemudian diproses menjadi DME. DME inilah yang akan digunakan sebagai pengganti elpiji.
u201cLPG 80% kita impor. Pilihannya ada dua, diganti dengan DME, mix together jangan diganti total, dicampur sekitar 20-25%. Kemudian kedua, untuk yang di rumah tangga atau apartemen seharusnya pakai kompor listrik. Kalau dengan kompor listrik, maka listriknya terserap dan elpiji berkurang,u201d kata Abadi kepada Dunia Energi, belum lama ini. Dia menambahkan, saat ini memang proyek gasifikasi batubara belum memenuhi keekonomian. Oleh karenanya, diperlukan insentif fiskal dan non fiskal untuk menarik investor.
u201cUntuk membangun pabriknya dibutuhkan waktu dua tahun, investasi lumayan besar sekitar Rp 3 triliun. Aturannya belum ada, akan kami bawa ke sidang paripurna dengan pemerintah supaya ada kebijakan fiskal dan nonfiskal,u201d tandas Abadi.
COMMENTS