BANDUNG-Jika mencermati, dalam berbagai penelitian yang dilakukan, seringkali melibatkan tikus sebagai hewan percobaan.
Namun pernahkah terpikir, mengapa sebagian besar hewan yang dilibatkan adalah tikus?
Menjawab hal tersebut, Dosen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB, Fifi Fitriyah Masduki membeberkan alasan di balik penggunaan tikus sebagai model dalam penelitian biokimia.
Menurutnya, seperti dikutip dari laman resmi Institut Teknologi Bandung (ITB), Senin (4/4/2022) tikus memiliki banyak fungsi anatomi yang mirip dengan yang dimiliki manusia.
"Selain mirip secara anatomi, genom tikus dan manusia juga mirip," katanya.
Kemiripan itu lah yang dapat digunakan untuk mendapatkan pengetahuan yang bisa diterapkan untuk memahami proses pada manusia.
Namun tak hanya soal anatomi saja yang mirip. Makalah yang dipublikasikan di jurnal Missouri Medicine menyebut, penggunaan hewan pengerat untuk tujuan penelitian mempunyai keuntungan lain.
Misalnya saja ukuran tikus yang relatif kecil, sehingga hanya membutuhkan sedikit ruang untuk memeliharanya dan biaya perawatan menjadi lebih murah.
Lebih lanjut Fifi menjelaskan, sepanjang sejarah, tikus sudah sangat sering digunakan sebagai animal model untuk penelitian di berbagai universitas di dunia.
Beberapa peneliti yang mendapat penghargaan Nobel, bahkan juga melibatkan tikus dalam penelitiannya sebagai animal model.
Saat ini, telah banyak pihak yang menyediakan budidaya tikus transegenik untuk keperluan riset.
Berbagai informasi terkait tikus transgenik yang dapat dipakai untuk mempelajari riset-riset terkait penyakit yang menyebar di manusia, juga telah beredar luas di internet.
Menurut Fifi, salah satu contoh penelitian terkait penyakit manusia yang memanfaatkan animal model tikus adalah penelitian yang berhubungan dengan penyakit malaria.
"Spesies parasit yang paling banyak menginfeksi manusia melalui penyakit malaria adalah vivax dan falciparum," papar Fifi.
Spesies parasit falciparum ini berbahaya, karena mampu berkembang biak dan menyebar ke berbagai organ tubuh manusia seperti otak melalui peredaran darah dengan cepat. Dampak terparah dari penyebarannya dapat menyebabkan koma.
Sementara spesies vivax akan menginfeksi sel darah merah yang masih berkembang atau disebut retikulosit.
Melalui penelitian menggunakan tikus, maka dapat tercipta target baru untuk malaria yang penting untuk menanggulangi parasit falciparum.
Tetapi tak hanya sebatasa untuk studi malaria, hewan pengerat ini menurut artikel di jurnal Missouri Medicine juga lebih disukai untuk penelitian kardiovaskular, studi perilaku, dan toksikologi. I kcm
COMMENTS