Pilpres 2019: Prabowo Unggul 15-20% atas Jokowi di DKI Jakarta. Nyala Keunggulan itu Menyebar ke Daerah-Daerah

KONFRONTASI- Berbagai kalangan memprediksi bahwa dalam Pilpres 2019 ini, Prabowo unggul 15% sampai 20% di wilayah DKI dibandingkan Joko widodo yang pamornya sudah terus tergerus . Dari beberapa kali debat capres-cawapres 2019, elektabilitas Jokowi-maruf tergerus 3-5 persen setiap kali debat itu usai. Mengapa?
Melihat Survei Litbang Kompas Maret 2019 di DKI Jakarta , Jokowi-Ma'ruf mendapat suara 36,3 persen. Sedangkan Prabowo-Sandiaga mendapat suara 47,5 persen. Dan yang masih rahasia sebanyak 16,3 persen. Nah,Nyala Keunggulan itu Menyebar ke Daerah-Daerah .
Hasilnya, Polmark Indonesia menilai kondisi Capres dan Cawapres Nomor Urut 01, Jokowi-Maruf Amin yang juga petahana disebut dalam kondisi tak aman. Berdasarkan survei yang dilakukan di 73 dapil se-Indonesia, Jokowi-Maruf Amin unggul cukup telak, dengan meraih elektabilitas 40,4 persen.
Euforia rakyat pada Prabowo terus memuncak cenderung mendekati klimaks, sedangkan dukungan masyarakat bawah pada Joko widodo terus stagnan, malah merosot cukup signifikan. Sebagai petahana dengan masa kerja lebih dari 4 tahun, setelah dihantam isu Ahok dan partai panista agama, koalisi Jokowi berupaya merayu dan merangkul ummat Islam dengan cara menarik politisi sepuh Maruf Amin sebagai cawapresnya, namun upaya itu gagal total. Jokowi gagal dalam ekonomi, banjir impor pangan, banjir buruh China dan gagal memenuhi ekspektasi rakyatnya sendiri, Jokowi dianggap banyak umbar data ngawur, bodong dan bohong, Jokowi juga tampak tidak punya visi-misi dan gagasan yang bisa dipercaya. Janjinya diingkari sendiri mirip janji palsu, wacananya hapalan belaka, sangat dangkal dan normatif rendahan sehingga membosankan. Sementara ketergantungan pangan dan energi pada asing meninggi dan mengkhawatirkan rakyat dan bangsa kita. Demikian benang merah pandangan teknokrat senior Rizal Ramli, ekonom senior Kwik Kian Gie dan Prof Anwar Nasution dari FEUI dalam berbagai dialog dengan media.
Enam bulan lalu, sejumlah lembaga survei ramai-ramai mengumumkan hasil kerjanya dengan menyatakan perbedaan elektabilitas Petahana Joko Widodo dan Prabowo Subianto hingga 20 persen di mana Jokowi unggul. Namun kini, setelah kampanye empat bulan terakhir, yang terjadi justru sebaliknya, terutama di DKI Jakarta dimana ekonomi terpuruk, daya beli rakyat ambruk dan penegakan hukum tebang pilih/tidak fair/tidak adil, maka kepercayaan rakyat pun anjlok terhadap Jokowi. Di DKI Jakarta kini Prabowo unggul 15% sampai 20% di wilayah ibukota ini dibandingkan Joko widodo. Mayoritas intelektual yang masih punya akal sehat mengucapkan selamat tinggal Joko widodo, dan sudah trauma dengan semburan omongannya yang datar, dangkal dan ngasal saja. Kubu Jokowi dinilai mengeksploitasi dan memanfaat kebodohan rakyat bawah akan informasi dan pengetahuan demi kekuasaan semata.
Sejumlah survei berusaha untuk menjustifikasi kecurangan pilpres kalau pada akhirnya Jokowi kalah dalam Pilpres mendatang. Kecurangan itu yang dicurigai publik dan dikhawatirkan sebagai biang masalah yang bisa meledak jadi ketegangan dan konflik bahkan chaos pasca pilpres 17 April 2019 kalau persepsi [ublik menilai pilpres tidak jurdil..
Hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memprediksi, PKS, PAN, NasDem dan Hanura tak lolos DPR pada Pemilu 2019. Begitu juga partai baru seperti Perindo, PSI dan Garuda, diprediksi tak mampu melewati parliamentary threshold sebesar 4 persen. Sementara penangkapan eks Ketum PPP Romahurmuziy alias Rommy karena korupsi dinilai akan memperbesar kesempatan Prabowo-Sandiaga menang di Pilpres 2019.
Dalam hal ini, Tokoh nasional/Ekonom senior Rizal Ramli (RR) membeberkan, Jokowi effect pada pemilu 2014 sangat rendah, paling sekitar 2% dan ada kesalahan 12 lembaga survei 2014 ketika itu mencapai 7-8 kali margin of errors.
"Mbak Mega, pada 2014 itu masih ragu-ragu. Bang Taufik almarhum apalagi, tetapi akibat rekayasa hasil 12 surveyor yang masif itu akhirnya Mbak Mega dukung Jokowi," kata RR.
Untuk itu, RR meminta publik tidak mempercayai lembaga survei. Menurutnya, lembaga survei merupakan alat propaganda dan pencitraan palsu serta membangun kesadaran palsu yang merusak demokrasi dan kepercayaan publik.
(berbagai sumber/ff)
GULIRKAN KE BAWAH UNTUK MELIHAT ARTIKEL LAINNYA
- Dibaca 1539 kali